10. Breaking Point

3.2K 328 62
                                    


Disclaimer: Naruto and all the character are Masashi Kishimoto's.

.

.

"Aku nggak mau balik kayak dulu lagi, tergila-gila sama kak Naruto."

Hinata menggelengkan kepala keras, menolak kembali pada dirinya yang lama. Sosok perempuan konyol yang diperbudak perasaan, lagi-lagi melintas di benak.

Lawan bicaranya, Nick, menelengkan wajah ke kiri. Hinata yang berapi-api ditanggapinya dengan tenang. Senyum simpul mewakili isi pikirannya mengenai pasien yang telah dianggap keluarga ini.

"So... apa yang menurutmu ideal antara kamu dan Naruto?"

Pertanyaan itu mengetuk angan Hinata, menggedor-gedor ke dalam substansi berpikir. Iya juga, apa sebenarnya yang sesuai untuk dirinya dan Naruto? Ia belum menetapkan kondisi itu secara pasti. Namun, setidaknya, tak perlulah melodrama cinta bertepuk sebelah tangan. Baik dari sisi Hinata maupun Naruto. Ia ingin hubungan bilateral yang platonik dan damai.

"Entahlah. Yang jelas aku tak mau kembali pada obsesi lama. Lagian, Kak Naruto juga tidak benar-benar menyukaiku."

Hinata menunggu tanggapan Nick. Satu hal yang paling disukai dari 'bicara' dengan pria itu, adalah kemampuannya mendengar dan merespon seolah masalah Hinata suatu objek diskusi. Biasanya Nick akan menyimpulkan, lalu menimpalinya dengan perspektif netral. Begitulah, ngobrol dengan tukang analisis jiwa memang beda.

"Ada dua hal di sini, Hinata. Kamu yang tidak mau kembali ke masa lalu, dan kamu yang sangsi pada Naruto. Dua hal ini seperti kausalitas tumpang-tindih." Nick mengetuk-ngetuk jarinya ke meja. Gestur andalan ketika berpikir. "Yang pertama aku bisa ngerti kenapa, tapi yang ke dua... why is that? Naruto said he loves you himself, didn't he?"

Hanya karena Hinata mendengar langsung dari si penutur, bukan berarti semua kata bisa dipercaya. "Siapapun nggak akan percaya kalau tahu Naruto dulu. Dia itu jijik padaku. Pokoknya nggak mungkin banget seorang Naruto menyukai Hyuuga Hinata. Dia bahkan bilang lebih baik menikahi batu daripada menikahiku. See... it's just nonsense."

"Itu kan dulu, yang mana, sepuluh tahun lalu. Manusia berubah, Hinata."

"Ah kamu nggak ngerti." Bantah Hinata.

Muka jutek Hinata justru membuat Nick tertawa. Bukan bermaksud seksis, tapi saat ini si cantik Hyuuga sedang berada dalam mode 'perempuan selalu benar'. Yang penting ngeyel dulu, urusan benar salah belakangan.

"Ish... jangan ketawa." Hinata mencubit lengan Nick.

Tak tahan dengan muka kesal Hinata, bibirnya yang maju beberapa senti, Nick menyentil kening yang tertutup poni.

"Denial!"

Hinata mendengus sebal, mengusap-usap poninya yang berharga.

"Oke, Naruto bisa saja bohong, tapi bagaimana kalau dia jujur? Dan justru sangkalanmu yang mengada-ada?" Nick mulai melancarkan bantahan. "Begini Hinata, kamu pernah dikecewakan. Tanpa sadar, di sini, merancang skenario yang mengacu pada kenanganmu." Ia mengetuk pelipis Hinata. "Aku pernah bilang belum sih, otak manusia itu selalu condong pada hal yang familiar. Makanya ada sesuatu yang disebut trauma, penyangkalan dan sebagainya. Nah, denial atau penyangkalan tersebut merupakan self defense untuk melindungi diri dari hal menyedihkan."

"Dalam keadaan denial, kamu memilih berada di sisi yang lebih mudah diterima. Misalnya, Naruto yang bohong soal perasaan, sebab di masa lalu dia brengsek. Itu wajar. Tapi dalam porsi terlalu banyak, denial menghalangimu dari melihat realita."

OBSESI (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang