E M P A T

15.2K 914 14
                                    

Pukul sembilan pagi Dimas sudah rapi. Ia mengenakan kemeja lengan pendek dan jaket bomber. Terlihat sangat tampan di usia matangnya.

Sebelum keluar kamar, sekali lagi ia menghadapkan diri di cermin berukuran satu badan itu. Merapikan hal yang tidak perlu.

"Cie .... Papa. Mau kemana tuh pagi-pagi," ucap anak pertamanya Sekar.

Dimas menaik turunkan alisnya.

"Wah ... Kak Sekar. Ayok kita siap-siap Papa mau ajak kita," canda Arum anak kedua Dimas.

Dimas hanya menggeleng-gelengkan kepala. Tadi pagi Ia sudah meminta izin pada anak-anaknya untuk hadir ke acara reuni SMA. Mereka mengizinkan. Di keluarga ini setiap orang harus meminta izin untuk melakukan sesuatu. Tidak terkecuali orang tua pada anaknya.

Dimas menghampiri Ismi yang sedang memasak di dapur.

"Ma, papa jalan dulu ya."

Ismi mengangguk. Sepintas tadi ia melihat jam dinding. "Terlalu pagi," batinnya.

Dimas mengansurkan tangannya. Ismi mencium punggung tangan suaminya. "Hati-hati ya, Pa."

"Iya, Mama juga ya. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Diperjalanan Dimas tidak henti untuk tersenyum. Mobil berwarna hitam itu melaju sedang. Lalu lintas tidak padat karena weekend.

Dimas memarkirkan kendaraan di bahu jalan. Mematikan mesin mobil lalu turun dengan wajah sumringah. Lebih dari lima belas tahun ia tidak pernah ke sekolah. Gedungnya tetap sama 3 lantai berbentuk letter L. Hanya warna gedung yang di cat berbeda serta adanya taman air mancur dan banyaknya hiasan pohon yang menggantung.

Sepintas kenangan masa sekolah berputar di otaknya. Ia tersenyum mengingatnya. Waktu cepat berlalu.

Dimas melihat panggung di lapangan utama. Beberapa orang terlihat sibuk mengatur bangku dan perlengkapan lainnya.

Buggg.

"Ow ... Maaf," ucap Dimas karena tidak sengaja menabrak seseorang. Ia lalu membantu merapikan kertas yang tercecer.

"Eh, nggak. Aku yang salah jalan sambil baca," ucap wanita itu dengan cepat.

Dimas terpaku. Suara itu akrab di telinganya. Suara yang bertahun-tahun tidak didengarnya. Ia menoleh mendapati wanita yang membuat semangatnya hadir untuk ikut pertemuan alumni. Dynara.

Alih-alih membantu merapikan kertas, Dimas malah asyik memandang wanita di depannya yang membuat tersenyum.
Kulit putih dengan hidung yang mungil, tinggi. Hanya satu yang berbeda. Jika dulu rambut Dynara tergerai indah. Kini sehelai kerudung menutup mahkotanya itu.

Dimas tersenyum kikuk ketika Dynara melihatnya. Wanita itu mengeryitkan dahi mencoba mengingat-ingat.

"Kamu?" Dynara mengetuk-ngetukkan telunjuk ke pelipis.

Dimas tersenyum melihat tingkah pola Dynara yang selalu lucu di matanya. "Dimas," ucap Dimas.

Dynara mengangguk-angguk. "Ah ... Ya. Dimas. Apa kabar?"

Mereka bersalaman.

"Alhamdulillah aku baik. Kamu gimana kabarnya, Ra?"

"Alhamdulillah aku juga baik." Dynara melepas jabatan tangan. "Kamu datang sendiri?" tanya Dynara.

"Iya. Ra, aku minta maaf, ya."

"Maaf? Soal apa?" tanya Dynara heran.

"Tristan. Aku baru dengar kabarnya. Aku turut berduka." Dimas mengatakannya dengan tulus.

Yang Kedua (END)✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang