L I M A

12.9K 783 19
                                    

Sebagai seorang istri, Ismi bisa merasakan perubahan dari suaminya.

Perubahannya terasa setelah acara reuni. Seolah semangat pertemuan itu masih terus berlanjut. Dimas yang sebelumnya pasif di grup whatsapp kini rajin sekali membuka aplikasi pesan instan itu. Ia juga membuat beberapa akun media sosial.

Hari itu Ismi yang melihat sang suami di kebun belakang berniat untuk mendekati. Langkahnya terhenti saat melihat Dimas sedang fokus menatap sebuah foto. Dimas memperbesar tampilan gambar. Tampak seorang wanita berjilbab biru. Dimas tersenyum memandangnya.

Ismi menghentikan langkahnya. Ia berbalik menjauh. Ada sesuatu yang menghantam dadanya saat melihat suaminya tersenyum memandangi wajah wanita lain.

Malam itu di kamar seperti biasa mereka mengobrol sebelum tidur. Perbincangan itu biasanya seputar kegiatan anak-anak, rumah dan toko.

"Jadi, mau ada pengajian di rumah, Ma?"

"Iya, pengajian rutin, Pa. Giliran di rumah kita."

Dimas mengangguk-angguk.

"Ma, untuk nasi box-nya biar papa yang pesan. Papa punya teman dia buka catering, masakannya enak loh, Ma."

"Tapi, Pah. Mama kan sudah pesan di catering langganan."

"Cancel aja untuk kali ini. Pengajiannya juga kan masih minggu depan, kan?"

"Iya, tapi---"

Dimas tidak menanggapi protes dari Ismi.

"100 box ya, Ma?"

"Kebanyakan Pa, paling cuma lima puluhan."

"Ya, sudah. Nanti sisanya buat anak-anak di toko."

Ismi diam. Tidak biasanya Dimas ikut campur urusan seperti ini. Ia melihat Dimas yang sedang fokus pada ponselnya.

"Ma, sudah papa pesan ya," ucap Dimas. Ia melirik sesaat kepada Ismi lalu meletakan gawai di nakas.

"Papa tidur duluan ya, Ma."

Ismi mengangguk.

Hatinya bimbang saat melihat ponsel Dimas yang berada di atas nakas. Selama ini tidak pernah mencurigai Dimas. Ia begitu percaya dengan suaminya itu. Namun, mengingat Dimas yang memandang foto seorang perempuan, aktif dalam temu kangen dengan teman masa sekolah dulu. Sungguh terselip rasa rasa ingin tahu. Siapa dia?

Perlahan ia maju mendekati nakas. Diliriknya kembali Dimas yang sudah terlelap. Ragu tapi ada dorongan kuat yang membuatnya harus memeriksa ponsel suaminya. Hal yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya.

Ismi segera mengambil ponsel Dimas lalu membawanya keluar kamar. Keadaan rumah sudah sangat sepi. Ia menuju ruang makan lalu duduk di salah satu kursi.

Ismi menghela napas. Ia mulai membuka pola kunci ponsel tersebut. Bibirnya tersenyum mendapati pola kunci itu tidak berubah.

Meski begitu Ismi tetep melanjutkan aksinya. Ia membuka aplikasi pesan. Menggulirnya perlahan, membuka satu persatu pesan juga grup alumni sekolah Dimas. Ismi mengeryitkan dahi. Tidak ada aneh. Bahkan, order untuk catering pengajian yang ia curigai sebelumnya juga tidak aneh.

Assalamualaikum,
Mba saya pesan nasi 100 box untuk sabtu depan ya.
Saya sudah transfer.
Kirim ke alamat Jln. Cendana blok B . Rumah Ibu Ismi.
Terima kasih.

Tidak ada balasan. Karena pesan terkirim tapi belum diterima, centang satu.

Ismi menutup aplikasi perpesanan itu. Ia lalu membuka galeri ingin melihat jelas sosok wanita yang dilihat Dimas. Benar saja ada satu foto wanita yang
di-zoom. Wanita berkulit putih dengan senyum yang mengembang. Masih terlihat cantik di usia dewasanya. Membayangkan Dimas tersenyum melihat foto itu sungguh membuatnya sakit hati.

Ismi mengusap layar untuk melihat foto selanjutnya. Foto-foto Dimas bersama teman-temannya. Ia lalu menggeser lagi. Seolah ada sesuatu yang menghantam dadanya kembali. Tampak dalam gambar bagaimana Dimas memandang wajah wanita itu. Sedangkan Sang Wanita fokus tersenyum ke kamera. Seolah pandangan Dimas hanya tertuju ke arah dia. Tatapan seorang pemuja cinta.

Ismi menahan diri untuk tidak tersulut emosi. Ia meremas dadanya sendiri. Sakit.

Ismi mematikan layar ponsel, menjauhkan gawai itu. Ia mulai mengatur napas. Menuangkan air ke dalam gelas lalu meminumnya.

Mungkin hanya kekaguman biasa.
Tidak mungkin Mas Dimas berkhianat.
Mas suami yang baik.
Semua akan baik-baik saja.
Hal ini bukan masalah.

Kata-kata itu terus diucapkan Ismi dalam pikiran. Ia mencoba mensugesti dirinya sendiri. Cukup lama. Sampai ia mulai bisa mengendalikan diri.

Ismi melangkah masuk ke kamar. Meletakkan kembali ponsel Dimas. Ia duduk di sisi tempat tidur. Menatap Dimas yang tertidur pulas.

"Aku sayang kamu, Mas. Aku akan berusaha jadi istri yang lebih baik lagi," ucap Ismi pelan.

Dimas yang merasa ada sentuhan di pipinya terbangun. Ia mengerjapkan mata. "Eh, Ma. Belum tidur?"

Ismi tersenyum lalu menggeleng.

Dimas berusaha membuka mata. "Ada yang mau mama omongin?"

"Nggak. Tadi ada nyamuk di pipi papa."

Dimas mengangguk. "Ya, udah Mama tidur juga, sudah malam."

Walau Dimas berbicara sembari menutup mata. Ismi tetap mengangguk.

Ia berdiri merapikan selimut Dimas. Ia tersenyum. Dimas tetap sama tidak berubah. Tetap lembut dan perhatian.

Ismi berjalan memutari ranjang. Tidur di samping suaminya. Membaca doa tidur dan berharap esok dan selamanya akan seperti ini.

Jam menunjukan pukul dua malam. Ismi bangun. Mungkin karena sudah terbiasa sejak remaja. Jadi, seperti ada alarm dalam tubuhnya untuk bangun pada jam-jam itu.

Ismi mengusap muka. Tersenyum lebar mendapati suaminya masih tertidur pulas di sampingnya.

Ismi menggulung rambut panjangnya. Ia menepi ke tepi ranjang untuk ke kamar mandi. Langkahnya terhenti saat mendengar gumaman Dimas. Ia segera menoleh ke Dimas. Menajamkan pendengarannya.

"Ra ... Dynara ..."





Yang Kedua (END)✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang