Hafidz berdiri di depan sekolah. Sudah setengah jam ia menunggu. Tetapi Om nya belum juga datang.
Bahu Hafidz merosot. Ada rasa kecewa. Mungkin Om tak datang. Ia berjalan gontai ke arah angkot yang menunggu penumpang di pinggir jalan.
Ada rasa kehilangan saat ini. Rasa yang sebelumnya tidak pernah ada. Seminggu lebih hubungan intim terjalin bagaikan Ayah dan anak.
Sebuah kendaraan roda dua berhenti di depan angkot yang mangkal. Pria berkaca mata itu mendekati pintu, menarik lembut tangan anak lelaki didalamnya.
Hafidz menengadahkan kepala. Spontan ia tersenyum segera turun dari angkutan umum tersebut. "Ommm." Tanpa sadar ia memeluk pinggang Dimas.
Dimas terkekeh tapi ada desir bahagia. "Maafin Om ya telat. Mobilnya mogok."
Hafidz mengangguk.
"Maaf, ya Bang. Nggak jadi." Dimas mengansurkan selembar uang ke supir angkot.
Dimas memakai helm dipakaikan juga Hafidz penutup kepala itu.
"Lets go. Bismillah," ucap Dimas setelah Hafidz naik.
"Om, Bunda sudah pulang, kan?"
"Iya, sudah. Ada yang mau dibeli buat Bunda?"
"Nggak, Om. Langsung pulang aja. Hafidz udah kangen banget sama Bunda."
"Oke."
Hati Dimas membatin semoga Dynara tidak marah padanya karena masih menjemput Hafidz. Rutinitas menjemput Hafidz menjadi kegiatan menyenangkan untuknya. Mungkin karena Hafidz anak laki-laki. Dan ia belum punya.
Seorang wanita mengernyitkan dahi saat sebuah motor memasuki halaman rumahnya.
"Bundaaaa ..." ucap Hafidz yang keluat dari balik badan Dimas.
Anak itu turun berlari menghampiri Bundanya. Memeluk hangat orang tua satu-satunya itu.
"Eh, kok pulangnya telat?"
"Iya, mobil Om mogok. Jadi telat jemputnya," jawab Hafidz polos.
Dyn segera menoleh benar saja ada Dimas dibalik kaca helm tersebut. Wanita itu segera memalingkan muka.
"Ayuk, Om. Mampir dulu," ajak Hafidz.
Dimas mengangguk.
"Nggak bisa, Sayang. Om nya nggak bisa mampir, sudah ditunggu Tante Ismi dan Keluarganya." Ada penekanan saat menyebutkan Ismi dan keluarga.
Rahang Dimas mengetat. Entah kenapa ada emosi di dada menerima penolakan dari wanita ini. Lagi. Namun, Dimas segera menguasai diri. Ia menghela napas menguapkan ganjalan di hati. Ia tetap turun menghampiri Hafidz yang cemberut.
"Benar kata Bunda. Om pergi dulu, ya." Dimas mengusap kepala anak itu.
Hafidz masih menekuk muka. Biasanya setelah pulang sekolah ia akan menghabiskan waktunya bersama pria berkacamata itu sembari menunggu jam besuk saat Ibundanya di rumah sakit.
Dimas yang masih melihat Hafidz cemberut, terkekeh. "Loh kok. Anak lelaki ngambek kayak gitu. Anak lelaki itu harus ...." Dimas sengaja menggantungkan kata-katanya.
"Haruss ..."
"Kuat," ucap Hafidz pada akhirnya.
Mereka tertawa lalu ber-high five.
Dynara yang melihat interaksi antar kedua pria itu hanya diam. Tidak ingin menanggapi berlebihan apalagi sampai terbawa perasaan.
"Om, pulang dulu, ya. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Dimas menstarter motornya.
"Om, besok jemput lagi ya. Lihat aku latihan silat."
Tiga orang ibu lewat di depan rumah. Melirik lalu saling berbisik.
"Sudah. Yuk, masuk. Bunda bikin puding kesukaan kamu." Dynara setengah memaksa anaknya untuk masuk ke rumah.
Hafidz mendebas lemah. "Ra ...."
***
Dimas menepati janjinya untuk menjemput Hafidz. Ia sengaja datang sebelum anak itu pulang.
Hafidz pemakan segalanya. Bukan, bukan berarti dia omnivora. Tetapi, anak kecil itu tidak pernah memilih-milih makanan. Ya, walaupun ia seperti kebanyakan anak kecil lainnya yang tidak suka sayuran.
Dimas menunggu di bawah pohon. Halaman sekolah Hafidz cukup besar. Setengah lapangan sepak bola. Dengan banyaknya tanaman di pinggir area.
Dimas melambaikan tangan ketika melihat Hafidz menoleh ke kanan dan ke ke kiri. Mencari dirinya.
Anak itu berlari sembari tersenyum. Ia mencium punggung tangan Dimas.
"Jadi, latihan silat?"
"Jadi dong Om. Ini Hafidz mau ganti baju." Ia mengeluarkan baju hitam khas seragam Pencak Silat.
"Makan dulu. Nih, Om bawa makanan." Dimas menyodorkan sebungkus makanan siap saji dengan segelas cola.
"Yah, Om. Hafidz udah makan tadi pas istirahat kedua. Makanannya buat nanti saja, ya. Selesai latihan."
Dimas mengangguk. Ia mengambil alih tas Hafidz yang akan berganti pakaian.
Saat ingin menutup resleting Dimas menemukan selembar surat persetujuan orangtua wali.
Kertas itu sudah ditandatangi Dynara. Tanpa sadar ia tersenyum. Paraf itu tidak berubah."Ini kok belum dikasih ke Ibu Korlasnya?" tanya Dimas ketika Hafidz kembali.
"Iya, Bunda belum sempat ambil uang di Atm buat pendaftaran."
Hafidz berlari kecil melakukan pemanasan bersama pelatih dan teman- temannya.
Dimas berjalan mendekati sekelompok ibu-ibu yang juga sedang menunggu anak-anak.
"Ini Bu. Uang pendaftarannya lombanya." Dimas menyerahkan tiga lembar uang berwarna merah sekaligus lembar pendaftaran.
"Untuk surat kesehatan bisa menyusul, kan, Bu?"
"Ow, bisa Pak."
"Ya, paling sepulang latihan baru ke Dokter."
"Baik, Pak. Nanti titip ke Hafidz saja biar saya yang minta ke dia."
Dimas mengangguk lalu pergi. Ia duduk memperhatikan Hafid yang sparing.
Latihan telah usai. Dimas dan Hafidz bergegas pulang. Mereka berhenti di klinik. Kesehatan Hafidz dinyatakan layak untuk mengikuti pertandingan.
Sebelum sampai ke rumah. Dimas memberhentikan motornya di tempat es buah. Membeli dua bungkus untuk dibawa pulang.
Seperti biasa Dynara sudah menunggu di teras rumah. Ia tidak kaget ketika melihat Dimas mengantar anaknya. Hafidz bersalaman dengan ibundanya.
"Bun, es buah dari, Om."
Dynara tersenyum meletakan bungkusan itu diatas meja.
"Om, ayuk masuk."
Dimas diam mengamati. Merasa Dynara tidak mengatakan apa pun. Ia turun dari motor lalu masuk setelah mengucapkan salam. Dimas duduk disamping Hafidz.
"Nak, kamu mandi dulu sana," ujar Dynara.
Hafidz terkekeh. "Om aku tinggal dulu ya."
"Iya sana. Bau hasem." Dimas mengacak-acak rambut Hafidz.
Mata Dynara mengekori Hafidz. Suara pintu tertutup di kamar mandi memastikan anak itu sudah di dalam.
Kini hanya tinggal mereka berdua di ruang tamu. Hening.
"Dim ..." panggil Dyn.
Dimas menoleh tersenyum. Pandangan mereka beradu.
∆∆∆∆∆
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang Kedua (END)✅
General FictionCover By @riaafriani83 :) Dynara seorang single parents. Ia tidak berniat untuk menikah lagi. Namun, takdir lain dari yang ia inginkan. Seorang teman lama datang. Meminangnya untuk jadi istri kedua. Karena yang pertama belum tentu merana. Yang Ked...