D U A

17.8K 1K 8
                                    

Selepas kepergian Ismiati. Dynara duduk dengan napas terengah. Marah, malu, kesal bercampur aduk.

Bagaimana bisa seorang istri mencari perempuan lain untuk suaminya?!

Dulu, saat Mas Trisna masih hidup. Jangankan mencari istri untuk wanita lain. Dia melirik mbak sayur saja, Dynara akan marah.
Apa dia tidak cemburu?
Apa dia rela membagi hati?
Apa dia tidak cinta?

Lalu Dimas?

Dynara mengernyitkan dahi, mencoba mengingat lelaki itu. Sejauh yang Dynara ingat ia dan Dimas tidak punya kenangan manis atau cinta monyet ala-ala remaja. Ia dan Dimas juga tidak terlalu akrab. Hanya temen sekolah tidak lebih.

"Apa yang melatarbelakangi istrinya melamarku," batin Dynara.

Beberapa bulan lalu mereka memang bertemu dalam reuni akbar SMA. Selayaknya reuni mereka saling menanyakan kabar dan keadaan. Namun, tetap saja tidak ada sesuatu yang istimewa.

Apa karena dirinya janda? Sehingga Dimas merasa iba padanya? Lalu dengan dalih menolong lelaki itu ingin menikahi dirinya? Rasa marah kembali menjalar. Janda. Status itu begitu menyakitkan bagi dirinya. Andai bisa berputar ia ingin suaminya hidup. Andai bisa merubah takdir ia ingin ia saja yang mati. Andai...

"Mas ... " lirihnya memanggil nama suaminya yang sudah tiada. Setetes air mata keluar dari sudut matanya.

"Assalamualaikum ..."

Dynara bergegas menghapus air matanya. Berjalan ke arah pintu mendapati anaknya sedang membuka sepatu. Kesedihannya hilang seketika melihat buah hati tercinta.

"Waalaikumsalam. Kok, sudah pulang?" tanya Bunda.

Haikal menaruh sepatunya di rak sepatu lalu mencium punggung tangan Bunda. "Iya, Bun. Cuma sebentar latihannya."

Bunda mengangguk, merangkul Haikal masuk kedalam.

"Ada tamu, Bun?" Haikal melirik cangkir yang berada di atas meja tamu.

"Iya, tapi sudah pulang," jawab Dynara datar.

"Siapa?" tanya Haikal menyelidiki.

Dynara tersenyum. Ia tahu walaupun anaknya baru berumur sebelas tahun tetapi lebih dewasa dari usianya.

"Temen. Sudah bersihkan badan dulu abis itu makan."

Dynara menyiapkan makan siang melupakan kejadian tadi yang mengusik kedamaiannya siang ini.

****

Seorang lelaki menunggu dengan harap-harap cemas. Tidak jarang ia bangun ketika mendengar suara mobil dari kejauhan.

Lelaki berpostur tinggi, tegap, berkaca mata itu adalah Dimas Faturahman. Pemilik percetakan dan toko stationary yang mempunyai cabang di beberapa tempat.

Sebuah mobil berhenti di depan rumah bertingkat dua. Ismiati turun dari taxi online mendapati suaminya sedang menunggu di teras rumah.

"Assalamualaikum ..." salam Ismiati kepada suaminya.

"Waalaikumsalam."

Dimas mengangsurkan segelas air putih pada istrinya. Dengan tersenyum Ismi menerimanya. Ia duduk dahulu lalu meminumnya hingga tandas.

Ketika Ismi minum ia bisa melihat raut penasaran dari wajah sang Suami. Ismi meletakan gelas kosong tersebut ke atas meja. Ia mendebas lemah. "Maaf, ya, Pa."

Dimas mengeryitkan dahi. "Mm Maaf untuk apa?"

"Wa---" Ismi meralat kata-katanya, "Dia belum menerima lamaran ini."

Dimas kaget tetapi cepat menguasai diri. "Tidak ada yang perlu dimaafkan." Jeda sesaat. "Kan, Papa sudah bilang. Mama nggak usah melakukan hal itu."

Ismi beranjak bangun dari duduknya. Ia mendekati Dimas. Mengusap lembut lengan suaminya. "Nanti mama bicara lagi sama dia, ya."

"Eh, Ma---"

"Mama istirahat dulu ya, Pa." Ismi memotong ucapan Dimas.

"Ya, sudah. Mama istirahat saja."

Ismi berjalan beberapa langkah ia berbalik melihat suaminya yang fokus pada ponsel. Ada irisan di dada Ismi saat melihat guratan kecewa pada ekspresi Dimas karena penolakan lamarannya.


Yang Kedua (END)✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang