S E M B I L A N

10.7K 685 11
                                    

Dimas membuka mulut. Kaget. Seharusnya mudah mengatakan 'tidak' pada ibu yang bertanya. Tapi mengapa lidahnya kelu. Dimas hanya mengangguk kaku.

Ibu bertubuh gempal ikut mengangguk.

"Owh. Begini Pak. Hafidz, kan, ikut silat. Jadi, akan ada pertandingan. Hafidz mau ikut atau tidak? Saya sudah WA mamanya tapi belum dibaca-baca."

Dimas mengangguk. "Iya, Rar--- Bundanya sakit."

"Sakit apa, Pak?"

"Tipes. Sekarang masa pemulihan."

"Alhamdulillah."

"Begini saja Pak. Ini surat persetujuan orang tua." Ibu Korlas itu mengansurkan selembar kertas. "Kalau Hafidz ikut tolong diisi nanti kembalikan lagi ke Saya."

Dimas mengangguk menerima surat data itu.

"Paling lambat minggu ini keputusannya ya, pak. Jadwal pertandingan Sabtu tanggal 5 bulan depan."

"Baik, Bu."

Ibu itu beranjak pergi setelah mengucapkan salam.

Dimas menghela napas. Ia merutuki diri mengapa harus berbohong.

"Ooom," panggil Hafidz dari kejauhan. Ia melambaikan tangan.

Dimas tersenyum.

Hafidz mencium tangan pria yang dipanggil Om. Dimas mengusap kepalanya.

"Om, Bunda pulang hari ini kan?"

"Besok pagi." Dimas membuka pintu mobil.

Sepanjang perjalanan ke rumah. Mereka bercerita. Dimas pun menanyakan kesediaan Hafidz untuk ikut Kejuaraan Silat.

Hafidz mengangguk semangat.

Biasanya sembari menunggu jam besuk, Hafidz dan Dimas berkegiatan berdua. Entah menemani Dimas di toko, main playstation berdua atau sekadar di rumah.

Setengah jam sebelum jam besuk Dimas dan Hafidz sudah di depan rumah sakit. Anak laki-laki itu sudah berganti pakaian casual. Ia tak sabar bertemu dengan Bundanya.

"Assalamualaikum, Bunda," salam Hafidz menghampiri Bunda.

Bunda yang sedang duduk merentangkan tangan. "Waalaikumsalam."

Keduanya berpelukan.

Dimas yang berada di belakang Hafidz menaruh plastik berisi buah-buahan. Seperti biasa Dynara enggan bertemu pandang dengannya. Fokus pada anak semata wayangnya.

"Bun, aku ikut kejuaraan Silat, ya," ucap Hafidz. "Tadi aku sama Om pulang ke rumah buat ambil dokumen yang harus dilampirkan. Formulirnya juga sudah diisi. Iya, kan, Om?" tanya Hafidz pada Dimas.

Dimas mengangguk. Ia sempat melirik Dynara. Wanita itu sekilas melihatnya lalu kembali menatap Hafidz.

"Boleh ikut, kan, Bun?"

Dynara tidak menjawab ia hanya tersenyum sembari mengusap kepala anaknya.

Ismi keluar dari kamar mandi.

"Eh, Hafidz sudah datang."

"Iya, Tante."

Hafidz menghampiri Ismi mencium punggung tangan wanita bermata sayu itu. Mereka berbincang. Semakin hari Hafidz makin akrab dengan Dimas dan keluarganya.

Satu jam berlalu. Hafidz pamit pulang. Ia mengecup pipi Bundanya dan mengucapkan salam. Ia tak lagi sungkan menggenggam tangan Dimas.

****

Keesokan pagi setelah mengantar Arum, Sekar dan Hafidz sekolah. Ia melajukan kendaraan ke rumah sakit. Dynara sudah diperbolehkan pulang.

"Mbak, Aku boleh minta tolong."

"Iya, apa Dyn."

Pembicaraan mereka terhenti saat Dimas masuk. Lelaki itu memberi salam. Ismi mendekat ke Suaminya lalu mencium punggung tangan Dimas.

Dyn menoleh ke arah lain.

"Eh, iya. Kamu mau minta tolong apa?"

Dimas melirik.

Dyn mengambil sesuatu di dalam tasnya. Sebuah kartu.
"Maaf, Mba. Bisa minta tolong ambilkan uang di atm."

Ismi mengambil atm itu. "Bisa. Untuk apa?"

"Untuk biaya rumah sakit, Mbak."

Ismi membuka mulut. Lalu mengembalikan atm ke telapak tangan Dyn. "Nggak usah. Sudah dibayar sama Dimas."

"Loh, Mbak. Nggak bisa gitu. Aku masih mampu."

Terjadi perdebatan kecil. Dynara berkeras hati untuk membayarnya. Ia tak enak kalau urusan administrasi harus merepotkan keluarga Ismi.

"Ya, sudah. Aku terima uang kamu." Ismi mengambil atm dari tangan Dyn.

Wanita yang masih lemah itu tersenyum. Dimas ingin membuka mulut untuk protes.

"Aku hadiahkan uang ini untuk Hafidz." Ismi kembali menaruh Atm ke tangan Dynara.

"Sudah, jangan protes. Kita kapan pulang kalau berdebat terus," seloroh Ismi.

Dyn mengerucutkan bibirnya.

Seorang suster datang. Ia membawa kursi roda. Dynara tidak akan kuat berjalan dari lantai empat sampai lobi.

Sepanjang perjalanan pulang tidak ada pembicaraan serius.

Dynara turun dari mobil menuju kamar. Meski tidak dipapah Ismi berjalan mendampingi Dynara. Dimas membawa tas berisi pakaian.

Rumah sudah bersih dan wangi. Ismi menyuruh sesorang untuk membersihkan rumah yang sudah ditinggal semingguan itu.
Bahkan kulkas sudah terisi.

"Dyn, tidak apa kalau aku pulang," ucap Ismi.

"Nggak apa-apa, Mbak. Aku udah sehat, kok."

"Ya, sudah. Aku pulang ya. Hubungi aku saja kalau ada apa-apa."

Dyn mengangguk. "Mbak, terima kasih banyak ya. Aku nggak tahu bagaimana balas kebaikan Mbak." Ia menggenggam tangan Ismi.

Ismi tersenyum. "Aku ikhlas." Melirik ke Dimas. "Tapi, aku masih nunggu jawaban kamu."

Dimas yang mendengar langsung salah tingkah sampai ia salah memasukan kunci mobil.

Dynara hanya ternganga. Tidak tahu harus berkata apa.

"Sudah jangan terlalu dipikirin. Aku pulang ya. Assalamualaikum."

Dynara mau tak mau mengangguk. Ia pikir masalah ini sudah selesai. Terheran sendiri bagaimana bisa seorang istri setenang itu meminta wanita lain menjadi istri kedua suaminya? Ikhlaskah atau ada motif lain.

***

Yang Kedua (END)✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang