KAWIN SILANG

968 97 35
                                    

Aku Hurton, dari bayi sampai sekarang. Aku mendapatkan nama itu bukan tanpa apa-apa, setidaknya selama setengah usiaku, aku jarang sekali merasakan bahagia, orang-orang di sekolah selalu menatapku sebagai orang aneh yang selalu menyendiri dan berdiam di pojok perpustakaan. Dan beberapa tetanggaku hampir menganggapku tidak ada, karena aku sangat jarang bertegur sapa dengan mereka.

Bukannya anti-social, hanya saja, aku belum menemukan seseorang yang bisa kusebut teman, tak ada yang tahu ada apa setelah tikungan. Dunia penuh dengan orang-orang bermuka dua, kau bisa saja mendapati orang yang kau anggap teman sedang menceritakan keburukanmu di hari yang sama saat kau dengan bangga memuji kebaikannya, dunia penuh dengan hal tak terduga, apa salahnya berhati-hati.

Aku cukup selektif dalam memilih teman, pandang bulu itu perlu, teman harusnya bisa memberi pengaruh yang baik, bukan? Tentu saja, aku 17 tahun. Usia yang sudah cukup dewasa untuk membenci pertanyaan basi seperti. "Sudah makan?" "Kenapa belum tidur?" "Sedang apa?" Demi Dewa Neptunus, itu bukan urusanmu.

Bisakah kau lebih berbobot? Seperti, obrolan ringan soal rencana remaja untuk masa depannya, misal. "Apa yang sudah kau siapkan untuk masa depan?" Akan lebih berguna dan tidak membuang-buang waktu.

Setidaknya, terhitung 730 hari aku menghabiskan waktu di sekolah ini. Tanpa teman, tanpa seseorang untuk bertukar pikiran. Aku, si Aneh Hurton, begitulah sebutan mereka yang sudah menjadi agenda rutin bagi sepasang telinga ini, ironis. Definisi introvert yang sebenarnya.

Mungkin ada dua atau tiga orang yang menyapaku saat berbelok di koridor dan juga pujian yang kudapati saat namaku di umumkan di pengeras suara sebagai siswa dengan nilai yang cukup baik. Namun, aku terlalu terpuruk untuk menganggap itu sebagai pujian, otak depresiku mengidentifikasinya sebagai satire.

Hari-hariku berjalan lumayan baik-baik saja, baik dalam artian yang telah berubah makna dalam kamusku.

Sampai hari itu, aku bertemu gadis aneh yang telah membuatku berpikir bahwa hari setelah ini akan lebih panjang dari pada daftar nama-nama orang yang menulis namaku sebagai pecundang, di tembok kamar mandi sekolah.

Gadis itu tiba-tiba saja datang, tanpa kuundang. Dengan santainya duduk di sampingku seperti teman akrab.

"Hurten, apa kau tahu kalau aku sering memperhatikanmu?" tanyanya, sambil memperbaiki bingkai minus di atas hidungnya yang sedari tadi merosot, dan dari mana pula ia tahu namaku? Ah, aku lupa kalau tag name terpampang jelas di sisi kanan bajuku.

"Tidak, aku bahkan tak mengenalmu," kataku sebisa mungkin tak menyinggung. Walau terdengar sangat memojokkannya.

"Kenalkan, aku Daisy," katanya lagi, kali ini diikuti senyuman. Ia menyilaukanku dengan deretan giginya yang dipenuhi kawat, sekali lagi bingkai itu merosot dari tempatnya, dan mulai membuatku tak nyaman.

"Daisy, apa kerjaanmu selain menganggu waktu istirahat orang?" tanyaku, Aku menunggu ekspresi di balik kacamata itu berubah, tapi nihil. Bahkan ia masih mempertahankan senyum menyebalkan itu.

"Aku kadang berpikir, kalau saja aku bisa mengawinkan silang Audrey tetanggaku dengan Anjing yang kutemukan akhir pekan lalu, mungkin akan membuatnya jera karena selalu mematahkan kacamataku," katanya tanpa beban, seolah itu akan ia lakukan ketika sampai di rumah nanti, aku merasa kasihan pada Audrey-sejujurnya.

Bukankah dia aneh? Tidak, lebih dari itu, dia gila. Rencana konyolnya membuatku bergidik, aku takut ia akan memgawinkanku dengan Alien.

"Berhenti memikirkan rencanamu itu, mulailah menjauh dariku."

Ia menatapku lekat sebelum angkat bicara. "Mulai hari ini aku resmi menjadi temanmu."

Mataku melotot, apa-apaan ini? Teman? Aku bahkan tak bisa membayangkan menghabiskan masa-masa sekolahku dengan spesies aneh ini.

"Teman katamu?" tanyaku, aku yakin nada suaraku sedikit penuh tekanan.

"Tentu, Hurten. Aku bukan peramal dan aku tak pandai membaca masa depan, tapi kupastikan selama beberapa tahun kedepan kita akan selalu bersama-sama. Atau mungkin selamanya." katanya bersungguh-sungguh, lalu tersenyum penuh arti, dan aku bergidik ngeri.

Kuharap ini hanya mimpi, seseorang bangunkan aku

"Tidak, tidak mungkin," kataku dengan tawa miris di ujung kalimat.

"Tenanglah, jangan terlalu bersemangat."

Bersemangat katanya? Aku sangat ingin menyumbat mulutnya dengan batu besar di depanku, lebih baik aku kawin silang dengan Alien dari pada berteman dengannya.

"Aku tak habis pikir dengan jalan pikiranmu."

"Tenanglah, aku tak akan mengawinkanmu dengan Alien yang kuceritakan tadi."

Aku mulai khawatir, selain gila dia juga mungkin bisa membaca pikiran, aku tertawa getir memikirkan dosa apa yang telah kuperbuat hingga bisa bertemu orang seperti dia.

Dia mengeluarkan setangkai bunga Daisy dari tasnya. "Ini untukmu, Hurten. Sebagai tanda pertemanan kita." Yah, sesuai dengan nama dan sifatnya, bunga itu layu karna telah terhimpit dengan benda-benda di tasnya dan terlihat sangat buruk untuk diberikan kepadaku.

Ia mengangkat tangkai bunga itu, lalu memperhatikannya, kemudian senyumnya memudar. "Ah, tidak. Ramalan itu benar, aku di kutuk dengan sentuhan mematikan, lihatlah bunga ini menjadi layu saat kusentuh," katanya mendramatisir keadaan, aku malah takut melihatnya.

"Aku tak yakin kalau kau punya otak." Aku benar-benar ragu jika ia ini adalah manusia, apa jangan-jangan ia hasil dari perkawinan silang Alien dan manusia?

Ia menatapku lama, tatapan itu ... sulit kuartikan.

"Aku pun sama tak yakinnya denganmu, Hurten," katanya lalu meraba-raba kepalanya. "Apa mungkin kau benar?"


Daisy punya otak kok, cuman otak dia kelewatan kalau mikir, jadi suka aneh gitu 😅

Btw, gimana nih, suka enggak sama mereka berdua? Kepo aku tuh sama pendapat kalian~

Jangan lupa vomment, feedback dari kalian sangat berharga buat aku

Love, Octa.

A Rocket to the Moon Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang