EBLM J0555-57Ab

327 30 29
                                    

"Oh, ayolah! Aku bercanda. Bagimana kalau aku tambahkan ini." Pak Rapid membuka spidol, kemudian membuat titik kecil di tengah-tengah papan tulis. "Sekarang apa yang kalian lihat?" tanyanya kemudian.

Beberapa anak menjawab titik hitam, ada juga yang menambahkan titik hitam kecil. Aku tetap diam, belum mengerti apa maksud dari penjelasan Pak Rapid.

"Kalian yakin?"

Setelah mendengar jawaban anak-anak lainnya, Pak Rapid berjalan ke belakang kelas, melewatiku tentunya. Kami semua berbalik, melihatinya.

"Di depan sana, ada papan tulis putih besar dan sebuah titik kecil, sangat kecil." Dia mulai berjalan perlahan kembali ke depan kelas. "Kenapa kalian lebih fokus kepada satu titik hitam? Padahal putih lebih dominan di sana."

Semua masih diam, nampaknya menunggu penjelasan Pak Rapid.

"Hal itu juga bekerja pada manusia. Sekarang mari kita berandai-andai, warna putih yang dominan di sana adalah kebaikan manusia, sedangkan titik kecil itu adalah kesalahan. Sebanyak apa pun kebaikan yang pernah kalian lakukan, jika kalian punya kesalahan, kesalahan kecil, orang lain akan melupakan kebaikan itu, dan akan berfokus pada kesalahanmu." Dia kembali duduk di kursi. "Manusia."

Seribu kebaikan tak akan cukup menutupi satu kesalahan, kata Paman. Dan itu benar, seseorang mungkin tak akan peduli jika kau sukses, tunggulah saat di mana kau berada di titik terendah. Para manusia itu akan berbondong-bondong mendatangimu dengan sekantung penuh kata-kata menyakitkan. Sudah rahasia umum sebenarnya, dan sepagi ini, Pak Rapid kembali membuka pikiranku.

"Aku benar, 'kan? Aku tahu, kita semua tahu, itu sifat alami."

"Kalau begitu, kita tak perlu bersikap baik pada orang lain," tanya gadis di sebelahku. Amber, atau Sally, aku tak terlalu mengingat nama-nama mereka.

"Bayangkan saja, rumahmu terbakar dan tetanggamu hanya melihatimu dari balkon sambil minum kopi, dengan senyum di wajahnya. Juga, ketika kau kecelakaan di jalan, orang-orang malah menendangimu, melindas badanmu dengan ban mobil."

"Lalu apa yang kita harus lakukan?" tanyanya lagi.

"Bersikap seperti tanah, manusia mengotorinya, membuang sampah sembarang, menggalinya demi sumber daya. Dan apa yang tanah lakukan? Tetap mau menumbuhkan tanaman, pepohonan, bunga yang indah, bahkan setelah perbuatan terkutuk manusia."

"Berarti, kita harus tetap melakukan kebaikan?"

"Tepat sekali, Janet."

Yeah, namanya ternyata Janet. Aku salah menebak. Aku masih menyimak perkataan Pak Rapid, tanpa bertanya, tidak bersuara sebelum ditanya. Aku suka Pak Rapid, pembahasannya selalu saja membuat pikiran terbuka.

"Bukan hanya di agama, dan orang beragama, aku pikir semua orang di dunia ini, tidak peduli siapa pun. Haruslah melakukan kebaikan, tak peduli sekecil apa pun, kebaikan tetaplah kebaikan, aku ingin kalian terus mengingat ini. Tidak ada alasan untuk tidak melakukan dan menolak kebaikan."

"Sekarang, buka halaman 38."

•••

Setelah kelas berakhir, istirahat pertama, aku ke perpustakaan. Ketika di ambang pintu, aku sudah disuguhi senyum menyebalkan milik Daisy.

"Biasanya kau datang sebelum aku, apa yang membuatmu terlambat?" tanyanya, menghalangi jalanku. Aku memang selalu datang lebih awal darinya, tidak terencana, mungkin kebetulan, dan Daisy menganggap itu hal luar biasa yang harus kuketahui.

"Bukan urusanmu." Aku berlalu, tidak memedulikannya.

"Sepertinya ada yang sedang tidak semangat hari ini."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 04, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

A Rocket to the Moon Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang