SASTRA DAN ANTARIKSA

241 50 15
                                    

Aku berjalan lesu saat keluar dari ruangan Pak Stev, jika saja tak berutang budi padanya saat ingin masuk di sekolah ini. Aku pasti perlu berpikir untuk menolak membantu Daisy. Bagaimana pun juga, Pak Stev sangat baik padaku. Dia satu-satunya orang yang mengerti sikap pendiamku di sekolah ini.

Hanya perlu mengajari Daisy beberapa hal dan-BOOM, masalah selesai. Lagi pula, sepotong belajar tak akan menyakiti siapa pun, bukan?

Dari kejauhan aku melihat Daisy sedang duduk membaca buku, aku menghampirinya tanpa perlu buang-buang waktu mencari kelasnya.

"Kau puas?" tanyaku ketika sampai di depannya. Ia tak melakukan pergerakan sedikitpun. Bahkan menoleh pun tidak.

"Aku akan mengirim alamat rumahku melalui pesan."

Mataku melotot kaget, yang benar saja?. Dasar. "Apa?! Kau sengaja meminta Pak Stev-"

"Tidak, aku telah diberitahu terlebih dahulu sebelum kau tahu." Ia tetap fokus pada bacaanya, yang kutebak adalah dongen tentang Alien atau semacammnya.

Kau hanya perlu bersabar sedikit, Hurton. Bagaimana pun, membunuh gadis yang sedang membaca buku dengan tenang, tidak akan dibela di pengadilan.

•••

Kata orang, sabar adalah kunci utama keberhasilan. Sedari tadi aku terus merapalkan kalimat itu agar aku bisa sedikit sabar dalam menemukan alamat rumah Daisy yang tidak jelas, ia hanya mengirim alamat tanpa memberi tambahan, misal; seperti apa warna rumahnya atau bentuknya. Apa jangan-jangan Daisy tinggal di Bulan? Ah, lupakan itu.

Setelah berhasil mencocokkan alamat rumah yang diberikannya, aku akhirnya menemukan rumah gadis gila itu.

Aku melihat sekeliling, rumah bergaya klasik, berwana cokelat dan pagar yang serasi dengan warna rumah. Terdapat papan tergantung di pagar yang tak terkunci bertuliskan 'HATI-HATI! ANJING TETANGGAKU GALAK'. Aku yakin tamunya tak akan membutuhkan informasi itu.

Aku membuka pagar berwarna cokelat, lalu menutupnya kembali. Rumah ini benar-benar sunyi, seperti tak ada kehidupan. Saat sampai di depan pintu, aku menemukan tulisan yang tak kalah aneh dari sebelumnya, di bawah bell terdapat kertas yang tertempel bertuliskan 'Bell sedang rusak! Teriak DING! DONG! dengan keras' bagaimana bisa seseorang datang bertamu jika bell-nya saja sangat aneh seperti ini, jadi aku harus berteriak? Tentu tidak, aku hanya perlu mengiriminya pesan agar ia keluar membuka pintu ini.

To : Alien

Hei! Keluarlah, aku sudah di luar

Tak lama menunggu, ponsel hitam ditanganku bergetar.

From : Alien

Apa kau tidak membaca tulisan di bawah bell?

Jadi aku harus berteriak? Oh, Dewa Neptune selamatkan aku!

"DIIIING ... DOOOOOOOONGG!"

Aku berteriak cukup nyaring, dengan terpaksa tentunya. Tak lama setelah itu Daisy keluar dengan baju berwarna putih dan celana pendek biru laut. Rambutnya tidak ia kuncir seperti terakhir kali aku melihatnya di sekolah.

"Apa semua orang yang mengunjungimu harus berteriak?"

Dia tertawa, menyebalkan sekali. "Tentu, kalau tidak aku tak akan membuka pintu."
Semoga aku masih hidup setelah pulang dari sini.

"Masuklah, Hurton!"

Aku mengikuti langkahnya, rumah ini tak terlalu buruk, sempat kupikir akan banyak Alien atau semacamnya di ruangannya. ternyata anggapanku salah. Ruangan berwarna putih tulang ini banyak menyimpan benda-benda yang-aneh, menurutku. Di langit-langit terdapat banyak bintang yang bergantung, dengan bulan di tengahnya dan beberapa awan yang terbuat dari flannel, juga sebuah teleskop mengahadap ke luar jendela, beberapa bacaan tentang astronomi tersusun di atas meja, sebuah tulisan besar di dinding 'Hidupku hanya tentang bahagia, cinta, dan semesta'. Yah, Daisy ini memang penggila langit malam. Oh, iya, satu lagi. Ada banyak figura benda langit di atas meja tak jauh dari tempatku berdiri

"Duduklah, aku akan mengambil beberapa buku untuk." Daisy berlalu, sebuah figura roket diujung meja menarik perhatianku.

Aku berjalan kearah figura roket, ini sangat-keren. sangat realistis, aku mengambilnya, terdapat nama Daisy tertulis di sisi kanan roket itu. Dan juga, sebuah tombol berwarna hitam yang membuat jariku gatal ingin menekannya.

"Apa pun yang kau lakukan, jangan pernah menekan tom-" Daisy tiba-tiba mengagetkan.

Terlambat, aku sudah menekannya.

Roket di tanganku bergetar hebat dan mengeluarkan bunyi, Daisy memandangiku seperti-entahlah, seperti melihat hantu.

"A-apa yang terjadi?!" tanyaku kaget, roket itu meluncur hebat tak terkendali dari tanganku kelangit-langit rumah, menabrak beberapa bintang di sana dan jatuh di atas lantai.

Daisy berlari kearah roket itu terjatuh. "K-kau ... merusaknya!" Ia mengambil roket malang itu. Aku ikut berjongkok di sampingnya.

"Aku tak tahu kalau itu bisa terbang," kataku sambil menggaruk tengkuk, aku bodoh sekali.

"Aku telah memperingatimu!" Suaranya bergetar, mana aku tahu kalau benda itu bisa terbang.

"Kau mengagetkanku."

"Aku menyuruhmu duduk, bukan mengambil roket itu lalu merusaknya."

Ia menaruh roket itu di atas meja lalu duduk di depannya, mungkin ini salahku-memang salahku. Aku ikut duduk.

"A-aku, minta maaf. Memang salahku, aku akan menggantinya."

"Kau tak akan menemukan yang sama."

Aku menghela napas. "Lalu, apa yang harus kulakukan?"

"Perbaiki roket ini." Ia menyodorkan roket rusak itu padaku, beberapa kabel di dalamnya muncul keluar. Kelihatan mengerikan.

Aku menerimanya. "O-oke."

Aku tak perlu susah payah memperbaikinya. Walter, sepupuku paling ahli dalam mesin. Aku rasa memperbaiki roket ini hal mudah baginya, masalah selesai. Walaupun itu harus mengorbankan satu koleksi bukuku. Tidak masalah, selama aku tak berurusan dengan Daisy.

"Apa barusan itu sikap baik seorang tamu?" Ia bertanya setelah cukup lama terdiam memandangi sudut meja berwarna hitam di depanku.

"Aku hanya penasaran dengan roket itu, lagi pula, sikap terlalu ingin tahu untuk ukuran orang baru lebih buruk menurtku."

Intuk ukurang orang yang baru kukenal-lebih tepatnya tak ingin kukenal-Daisy menduduki peringkat tertinggi dalam hal merusak suasana hati seseorang saat pertama kali bertemu. Kecuali seseorang yang punya gangguan mental, aku rasa opsi kedua bisa menyelip di antara Daisy.

"Penasaran, lalu merusaknya kemudian." Ia menekankan 4 kata tersebut. "Apa aku harus tersinggung?" sambungnya.

"Harusnya kau tersinggung."

"Tersinggung bukanlah suatu keharusan."

"Terserah, aku hampir lupa tujuan awal kenapa aku datang kesini."

Berdebat dengannya membuatku lupa kalau tujuanku ke sini karna semata-mata ingin mengajarinya pelajaran sastra.

"Aku sedang tidak ingin berhadapan dengan hal-hal menyebalkan itu." Ia menatapku malas.

"Aku sudah datang sejauh ini, setidaknya hargai." Aku sudah datang jauh-jauh, belum lagi mendapatkan alamat rumahnya sesulit mencari jerami di tumpukan jarum, lalu dengan mudahnya ia mengatakan tidak ingin belajar. Benar-benar membuat insting membunuhku tumbuh dua kali lipat.

"Tapi aku benar-benar tidak ingin belajar hari ini."

"Aku berhutang tanggung jawab pada Pak Stev."

"Tenanglah, semua akan baik-baik saja."

Aku rasa sudah cukup di sini, cukup membantu merusak.

"Baiklah, aku akan pulang sebelum merusak sesuatu lagi."

"Sebentar." Ia menahan tanganku. "Ada sesuatu yang ingin kuperlihatkan padamu."



Hayoloh itu kok si Hurton malah ngerusak 🙈
Gimana kalau roket Daisy gak bakalan bagus lagi? Bahaya, bisa dikutuk si Hurten jadi batu Bulan 🙊

Jangan lupa vomment, feedback dari kamu sangat berharga buat aku.

Love, Octa!










A Rocket to the Moon Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang