DUA - TERJEBAK MASALAH KELUARGA

111 17 6
                                    

HARFANDI


"Dokter, udah sebulanan muka saya begini. Gatal banget. Dulunya merah-merah sampai suka saya garuk," Pasien di hadapanku mengenakan gamis putih bertabur bunga-bunga kuning. Kerudungnya kuning kunyit polos. Sekilas tampak normal sebagaimana perempuan pada umumnya. Kita akan tahu perempuan berusia 26 tahun - menurut data pasien - ini memiliki kelainan jika melihat wajahnya yang menghitam tidak sewarna dengan kulit tangannya yang sawo matang ciri wanita Indonesia.

Okronosis eksogen*, aku membuat kesimpulan ketika meraba melasma* yang menyebar simetris pada regio infraorbital* dan zygomatycus*. Papul* berwarna cokelat yang menyebar akan terbentuk setelah berbulan-bulan mengoleskan krim mengandung merkuri pada wajah. Memang awalnya kulit cepat putih sehingga pasien terutama dari kalangan kurang mampu takjub melihat hasilnya. Namun itu baru permulaan, sebab pemakaian dalam jangka waktu lama justru mengakibatkan kerusakan.

"Ibu pakai krim pemutih ya?" tanyaku.

"Iya, Dok."

"Boleh saya lihat?"

Pasien itu membuka tas usangnya, tiruan model Hermes Kelly tapi bahannya bukan kulit sapi melainkan polyurethane. Bagaimana aku tahu jenis kulit imitasi? Aku pernah menjual tas imitasi, dulu sekali untuk menyambung hidup.

Wadah merah jambu mencolok keluar dari dalam tas lantas disodorkan padaku. Apa yang bisa diharapkan dari kosmetika tanpa izin BPOM? Selain harga murah, tentu saja kerusakan kulit.

"Tetangga pada pakai dan hasilnya bagus. Makanya saya ikutan. Nggak nyangka begini jadinya," keluh pasienku.

Aku cuma bisa menghela napas panjang merasa ikut bertanggung jawab pada masyarakat tak berdosa yang tak tahu apa-apa mengenai bahaya merkuri. Perempuan selalu sadar akan pentingnya menjaga kacantikan, terutama karena rasa insecure takut ditinggal pasangan. Sayangnya keadaan ekonomi orang tidak semua sama. Kalangan menengah ke bawah pastilah memilih harga murah ketimbang peduli komposisi. Aku membenahi letak kacamata minus lima yang bertengger di hidungku.

"Ibu berhenti pakai krim ini karena nggak ada izin BPOM-nya. Menurut dugaan saya, krim ini mengandung merkuri." Aku tidak bisa menuduh secara jelas tanpa membawa sampel krim untuk diuji di laboratorium. Bisa kena pasal pencemaran nama baik dan fitnah. Dokter zaman sekarang harus berhati-hati, sebab banyak pengusaha obat dan kometik abal-abal putus urat malu. Sudah salah karena membahayakan masyarakat malah lebih galak mereka kalau disenggol.

"Gitu ya, Dok. Terus muka saya ini apa bisa sembuh?" tanya pasien dengan raut wajah sedih.

"Bisa, tapi perlu waktu."

"Kalau mau lebih cepat gimana ya, Dok?"

"Ibu bisa ke klinik kecantikan, nanti konsultasi sama dokter spesialis kulit. Untuk sementara pakai sunblock untuk melindungi kulit dari paparan sinar matahari." Aku merekomendasikan beberapa merek yang kunilai bagus, selain aku juga meresepkan vitamin C dan E yang bisa ditebus di Pelayanan Kefarmasian Puskesmas.

Pasien terakhirku berterima kasih lalu keluar dari ruang periksa.

"Pasien terakhir kan, Run?" tanyaku pada Seruni, perawat yang sehari-hari mendampingi.

"Iya, Dok Har. Mau langsung pulang?" Gadis manis berambut sedikit melebihi kuping itu bertanya.

"Nggak, solat Jumat dulu."

OUR SIMPLE DREAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang