EMPAT - PENANGKAPAN

89 19 5
                                    

HARFANDI

Seumur hidup, aku cuma punya satu tujuan, menjadi dokter. Cita-cita ini dimulai saat usiaku muda. Ibu sulit punya anak karena berkali-kali gugur. Setelah melahirkanku, adik-adikku selalu gugur pada usia kandungan relatif muda. Pembuluh darah Mamah lebih sempit. Oleh karenanya kehamilan sangatlah berisiko preeklamsia.

Bidan desa kami sudah mewanti-wanti agar Mamah berhenti berusaha punya anak lagi sebab sangat berbahaya. Namun Mamah menganggap nasihat bidan hanya angin lalu. Orang tuaku lahir di tengah keluarga besar. Bersaudara kandung belasan orang. Prinsp banyak anak banyak rezeki diganggam kuat. Mamah ingin menambah momongan, bersama Papah terus berusaha.

Bertahun-tahun menanti melewati serangkaian prosedur kuretase, Mamah berhasil hamil. Aku ingat betapa orang tuaku menjaga kandungan yang lama dinanti. Papah meminta Mamah berhenti mengerjakan tugas rumah tangga. Bidan mengatakan kandungan Mamah masih cukup baik dan bisa dipertahankan. Aku tidak menyalahkannya. Apa yang bisa diharapkan dari bidan desa terpencil di wilayah Kuningan, Jawa Barat? Desa kami diapit hutan belantara dan kebun kosong. Peralatan medis ala kadarnya. Prosedur pemeriksaan sangat mungkin meleset jauh dari dugaan.

Belakangan aku menduga preeklamsia yang Mamah alami menyebabkan ruptur pembuluh arterispiralis. Solusio plasenta tak terhindarkan. Hiranya lahir prematur. Beratnya hanya seribu enam ratus gram. Mamah mengalami pendarahan hebat dan berakhir tidak selamat. Aku terpukul saat itu, demikian pula Papah.

Mamah menjadi motivator terbesar. Tekadku menjadi dokter demikian besar. Aku konsisten belajar sejak SD sampai SMA bukan demi pujian. Aku cuma tidak mau orang-orang yang kusayangi bernasib seperti Ibu.
Fakultas Kedokteran tak kalah menguras waktu. Ditambah aku harus bekerja menghidupi diriku sendiri dan Hiranya sepeninggal Papah. Pada saat-saat tersibuk, aku tak sempat lagi memperhatikan dengan siapa Hiranya bergaul apalagi berpacaran.

Aldo adalah teman SMP Hiranya. Anak laki-laki yang terlihat baik, suka mengantar jemput Hiranya sekolah. Persahabatan berlanjut hingga SMA dan kuliah. Mereka satu kampus. Benar adanya bahwa laki-laki dan perempuan sulit murni berteman tanpa perasaan lebih. Aku tidak melarang, malah meminta Aldo menjaga Hiranya.

Aku sering mendapati Aldo di kontrakan kami. Katanya belajar bersama. Tak sempat tubuhku yang lelah dan otakku yang banyak pikiran berasumsi kalau Hiranya dan Aldo bukan hanya belajar teori biologi, tapi juga mempraktikannya.

Petir serasa menyambar kepalaku saat Hiranya mengumumkan kalau dia hamil dan Aldo adalah ayah dari janin yang dikandung. sebenarnya bisa aaja aku melakukan kejahatan. Aku kenal banyak senior nakal, di luar buka praktik dokter secara normal, tapi di punya usaha sampingan klinik aborsi. Seharusnya aku minta tolong salah satu seniorku mengaborsi kandungan Hiranya agar adikku tidak menikah pada usia muda dan studinya jadi tertunda. Namun, Sumpah Hippocrates menghalangiku.

Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan.

Begitulah aku memilih menikahkan adik perempuanku dengan laki-laki yang kupikir akan menjaganya. Aku yang menggenggam tangan Aldo. Aku yang mengucapkan ijab. Aku yang meminta Aldo berjanji tak menyia-nyiakan Hiranya. Namun aku melakukan kesalahan. Aku tak peduli kalau Aldo mau menikahi Hiranya sekadar demi terhindar dari penghakiman massa. Dia takut wajah tampannya dirusak oleh warga yang berniat menghajarnya.

Entah karena Aldo terlalu muda untuk berumah tangga atau karena dia memang bajingan dari sananya, hidup adikku dia ubah bagaikan di neraka.
Aldo masih menumpang tinggal di rumah orang tua. Dia punya bisnis kafe kekinian, tapi selalu saja sepi. Aku penasaran bagaimana caranya memperpanjang biaya sewa di kawasan elite Jakarta. Jangan salahkan pikiran burukku yang menduga kafe itu cuma kedok untuk cuci uang. Mungkin orang tuanya punya bisnis haram. Kekayaan orang tua Aldo juga tak jelas sumbernya.

OUR SIMPLE DREAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang