LIMA - COWOK CULUN

86 18 6
                                    

DARA


"Apa ini?" Mas Benedict mengangkat surat kuasa yang sudah aku print. Aku butuh tandatangannya sebagai landasan hukum menangani perkara Nashira.

"Surat kuasa," jawabku.

"Iya, gue tahu. Tapi gue nggak ingat pernah menerima klien bernama Nashira Camelia. Perkara apa?" Mas Benedict membolak-balik surat kuasa tanpa menorehkan tinta.

"Nashira dilecehkan dosen pembimbing skripsi. Gue bantuin lapor ke Polda. Kalau nggak gerak, mau gue viralin."

Mas Benedict meletakkan lembaran kertas itu di meja terus ngelihatin aku. "Lo sudah bosan kerja di law firm? Mau pindah ke LBH?"

Aku jelas kaget mendengar pertanyaan Mas Benedict. Nggak munafik ya, selama tinggal dan menghirup udara Jabodetabek, aku butuh duit. Bukan sembarang duit sebatas UMR, malah kalau bisa yang banyak. Kerja di LBH nggak pernah terlintas dalam khayalanku. Bukan apa-apa, mohon maaf nih, teman-temanku yang kerja di LBH banyak yang secara finansial perlu berjuang.

"Nggak, Mas. Kok mikirnya begitu?"

"Nashira ini siapa? Lo kenal di mana? Punya perusahaan apa? Anak siapa?" Mas Benedict mencecarku. HAD Law Firm sangat ketat memeriksa latar belakang calon kliennya. Sejak era Pak Gilbert Andes, hanya orang tertentu yang bisa menggunakan jasa hukum di sini.

"Nashira ini mahasiswi. Adiknya mantan pacar gue. Nggak punya perusahaan karena masih mahasiswi. Kalau soal anak siapa, pasti anak bapak ibunya."

Mas Benedict mendengus. "Are you kidding?"

Aku menggeleng. Perasaan yang aku ucapkan barusan nggak ada bercanda-bercandanya. Semua fakta mengenai Nashira kuungkap tanpa ditutupi.

"Gue nggak mau tanda tangan. Lo nggak boleh handle perkara buang-buang waktu nggak ada duitnya ini, kecuali lo mau resign dari HAD Law firm."

"Yah, tapi kasihan Nashira, Mas." Aku berusaha membujuk. Namun kepala Mas Benedict menggeleng.

"Final ya, Dar. Suruh dia ke LBH perempuan. LBH dapat dana dari pemerintah. Ada sumbangan dan hibah dari berbagai pihak, nggak seperti law firm yang cari klien dan uang sendiri."

Aku memungut kertas surat kuasa dari meja Mas Benedict. Mukaku pasti jelek sekali karena ditekuk lemas. Kasihan Nashira. Patungan sama abangnya alias mantan pacarku untuk membeli apartemen. Mau investasi, katanya. Sial banget apartemennya malah bodong, mangkrak bertahun-tahun. Uangnya cuma balik 20%, bukannya untung malah buntung. Masalah hidupnya bertambah lagi. Dosen pembimbing skripsinya penjahat kelamin. Belum mau ACC kalau nggak dapat cipok. Sekarang lebih apes lagi, Nashira nggak bisa maju sidang kalau nggak ngasih ‘jatah’. Sebagai sesama perempuan, hatiku tergerak menolong. Sayangnya atasanku nggak berpikiran sama.

"Kenapa lo?" Mbak Sherly, senior associate di kantor menyapaku saat berpapasan di depan pintu ruangan Mas Benedict. "Kayak habis ditolak cowok yang lo taksir dari orok."

"Tahu aja, Mbak." Aku nyengir. Aku sempat naksir Mas Benedict, tapi sadar diri jurang pemisah kami terlalu lebar. LDR alias long distance religion. Untuk sekarang, cukup ngelihatin wajah gantengnya saja.

"Lo habis confess ke Ben? Lo naksir dia? Mau jadi pelakor?" Mbak Sherly melihat aku keluar dari ruangan Mas Benedict. Otomatis dia bikin asumsi sendiri.

"Apa sih?" Aku berdecak.

"Lah kata lo tadi?"

"Iya, gue emang habis ditolak karena minta tanda tangan surat kuasa buat perkara yang nggak ada duitnya. Padahal apa salahnya pegang perkara Pro Bono? Kan wajib di Undang-Undang Advokat."

OUR SIMPLE DREAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang