TIGA - SI ADIK MANTAN

103 21 6
                                    

DARA


Teman-teman Ayah sempat kaget dan menyesali keputusanku nggak ngambil kuliah di Fakultas Kedokteran. Ayah adalah dosen di sebuah universitas negeri, dokter konsulen, dan praktik di dua rumah sakit besar. Karirnya cemerlang di dunia medis sehingga cukup disegani. Makanya banyak yang nggak habis pikir, kenapa ayahku nggak sanggup memaksaku mengikuti jejaknya, padahal kata mereka aku bakal mudah menjalani kuliah kedokteran berkat koneksi orang dalam.

Dunia kedokteran sudah mengakrabiku sejak dalam kandungan. Di rumah, Ayah suka membicarakan case yang dihadapi. Aku sering diajak ke simposium, syaratnya cuma duduk tenang. Well, semua orang mikir kalau anak sulungnya Dokter Joko bakal mengikuti jejaknya. Mereka salah besar.

Dalam keluarga besar, nggak ada yang berprofesi pengacara. Rata-rata PNS alumni jurusan eksakta seperti FK dan FT. Ada juga yang masuk TNI, seperti sepupuku lantaran bapaknya juga ada di angkatan. Kalaupun kuliah jurusan IPS, biasanya memilih Fakultas Ekonomi atau STAN. Sampai SMA, aku nggak pernah tahu di dunia ini ada profesi pengacara.

Sampai akhirnya aku nonton wawancara Hotman Paris. Dia bilang tadinya mau masuk ITB atau Fakultas Kedokteran biar cepat kaya. Ternyata nggak diterima. Milih Fakultas Hukum cuma biar kuliah aja. Kita tahu lah Hotman Paris jadi apa sekarang.

Waktu nonton wawancara, otakku langsung bilang, "Aha! Aku mau masuk Fakultas Hukum dan jadi pengacara."

Selain biar cepat kaya, juga biar eyang putriku kesal. Kata eyang putri, aku bikin malu keluarga. Anak dokter wajib jadi dokter. Pilihanku nggak salah. Kuliah di FH cukup 4 tahun, nggak perlu koas-koasan segala. Lulus langsung dapat kerja dan gaji di atas UMR DKI Jakarta padahal belum jadi pengacara. Aku nggak menemukan kendala besar dalam karirku. Justru kehidupan percintaanku yang banyak halang rintang.

***

Aku sampai kantor pukul sembilan kurang. Masih sempatlah beli kopi di convenience store, ya meskipun nggak bisa dibilang kopi beneran karena kadar kafeinnya kurang nendang. Seringnya bikin mataku gagal melek karena kebanyakan gula. Aku sudah minta nggak pakai gula, tapi tetap saja manis.

"Lho, Dar." Suara familiar menegur ketika aku mendorong pintu kaca.

"Mas Ben."

Aku ikut mengantri di belakangnya. Pesona Benedict Andes nggak perlu diragukan. Duitnya banyak jadi bisa ikut perawatan. Para pengunjung perempuan curi-curi pandang. Garis wajah Latinonya memang kental. Mas Ben macho abis.

"Mas," Aku mencolek lengannya, "arah jam tiga."

Mas Ben mengikuti instruksiku lantas beradu pandang dengan laki-laki yang sedari tadi memandanginya kagum. Kulitnya putih bersih khas kokoh-kokoh. Penampilannya santuy, cuma pakai T-shirt putih dan celana jins bolong di bagian lutut. Aku nggak heran kalau sebentar lagi cowok yang bola matanya mau loncat keluar itu mendatangi kami lantas minta nomer HP.

"Laki-laki yang ganteng untuk pria yang tampan." Aku mengeluarkan cengiran.

"Jadi gue termasuk yang ganteng apa yang tampan?" tanya Mas Ben.

"Nggg..." Aku garuk-garuk kepala. "Ganteng deh."

"Well said," jawab Mas Ben narsis.

Satu hal yang kupelajari sejak menekuni dunia lawyering adalah keberanian. Nggak ada hal seberat apa pun yang nggak bisa ditangani selama punya duit dan koneksi.

OUR SIMPLE DREAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang