Wattpad-ku error, Genks. Wattpad kalian gimana? Dari tadi pagi kucoba buka di aplikasi HP, muter-muter doang. Katanya nggak ada sinyal, padahal kubuka aplikasi dan web lain lancar jaya. Ada yang senasib?
HARFANDI
Berat hati. Begini rasanya menyerahkan kembali adik kesayanganku pada laki-laki yang menikahinya. Status Aldo masih suami Hiranya. Secara hukum dan agama, dia sangat berhak atas Hiranya. Untuk menghalangi, aku tak punya kuasa.
Hati kecilku membisik ragu, benarkah Aldo sudah bertobat? Karakter manusia tak akan berubah cepat. Aku tak menemukan kebulatan tekad. Namun keponakanku membutuhkan keluarga lengkap, demi tumbuh kembang yang sehat.
"Kamu yang sabar sama Hiranya, tugas Imam adalah mendidik makmum, tapi mendidiknya tidak boleh pakai kekerasan. Tulang rusuk kalau dikerasi bisa patah," nasihatku pagi ini saar Aldo datang ke rumah.
"Saya nggak mendidik Hiranya pakai kekerasan. Aa tanya saja dia apa saya pernah memukul lagi setelah Aa nasihati?"
Hiranya sontak menggeleng. "Kamu emang nggak pernah mukul lagi, tapi nggak ngasih aku nafkah. Sering keluar malam, keluyuran sama cewek."
"Nafkah buat apa sih? Kamu mau makan tinggal makan."
"Ya, tapi aku makan sisa orang tua kamu. Nasib Swirly saja lebih beruntung. Dibeliin rumah kayak punya Barbie. Mana pernah kucing kamu makan sisa? Mama kamu nggak pelit beliin cat food. Royal Canin lho! Aku dikasih ketoprak juga nggak apa, yang penting bukan sisa."
Rumah kontrakanku menempel dinding dengan rumah tetangga kanan-kiri. Suara panci jatuh saja terdengar, apalagi pertengkaran pagi hari. Pak Yusran yang sedang mencuci motor, mendongak sejenak memandangi Hiranya. Bu Yayuk yang sedang menyiram kembang sepatu melambatkan goyangan selang. Suara adikku tinggi memekakkan telinga.
"Kalian kalau masih berantem, lebih baik Hiranya di sini dulu." Aku melerai, takut adikku dianiaya selama perjalanan.
"Mama bilang nggak baik suami-istri tinggal pisah-pisah," kata Aldo.
"Ooooh, jadi kamu jemput aku ke sini karena disuruh Mama? Mau sampai kapan sih kamu jadi anak Mami terus? Aku ini nikah sama laki-laki dewasa atau balita?"
Aku ikut pusing mendengar pertengkaran sepasang pasutri. Rasanya kepalaku mau pecah.
"Anak laki-laki adalah milik ibunya sampai kapan pun. Kamu harus tahu itu." Aldo mengingatkan, tapi Hiranya masih saja emosi.
"Kalau gitu ngapain kamu nikahin aku?" Hiranya mencak-mencak.
"Lho, kan kamu yang minta. Aku udah bilang gugurin aja kandunganmu waktu masih kecil. Kamunya nggak mau."
"Stres ya?" Hiranya berkacak pinggang. "Lo mau bunuh darah daging sendiri?"
"Aa lihat kan? Hiranya nggak ada sopan-sopannya sama suami." Aldo mengadu.
Aku tidak bisa berkomentar banyak selain dua insan di hadapanku ini sama-sama belum siap menikah. Egonya besar dan tidak ada yang mau mengalah.
"Kamu punya duit 300 juta di ATM, tapi nafkahin istri nggak mau. Suami pelit kok minta dihargai?" cibir Hiranya.
"Itu duit investor buat kafe. Kamu main ambil aja. Aku terancam dilaporin polisi tahu!"
"Halah alasan!" Hiranya bersedekap lalu buang muka.
"Udahlah, Hiranya di sini aja dulu. Nggak baik Zahra melihat orang tuanya bertengkar." Aku menasihati, bagaikan terjepit di tengah.
Keponakanku bengong di kursi teras menyaksikan ayah dan ibunya berdebat. Hiranya bertindak sebagai striker, menyerang terus sejak tadi. Aldo hanya berperan sebagai defender, bertahan dari serangan-serangan mematikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
OUR SIMPLE DREAM
HumorDara, lawyer junior ini punya impian yang sederhana. Hanya mau hidup tenang tanpa ada orang yang nyinyir tentang kenapa dia belum nikah. Harfandi juga sama. Dokter Puskesmas ini bercita-cita memiliki rumah kecil yang akan dia huni dengan istri dan...