DARA
Kuliahku nggak sepenuhnya ditanggung orang tua. Ayah membayar BOP setiap semester, tapi kamar kost, buku, transportasi, makan, dan biaya senang-senang harus kubayar sendiri. Biaya hidup dan nongkrong di kota Depok jauh melampaui uang kuliah di Perguruan Tinggi Negeri. Ayah seakan nggak berdaya kalau Eyang alias penguasa gerbang neraka sudah memberikan ultimatum. Menolak masuk FK artinya siap banting tulang memenuhi kebutuhan sendiri.Rasanya aku mau marah. Siapa Eyang Putri dan apa haknya mengatur keuangan ayahku? Memang dr. Joko Marsudi, Sp.B adalah anaknya. Namun Eyang perlu disadarkan kalau anaknya bukanlah bocah ingusan. Kepalanya saja mulai beruban. Penghasilan dari kerja keras Ayah berhak dihabiskan semaunya. Saat aku masuk kuliah, Ayah berusia kepala empat, anaknya pun tiga. Namun Eyang Putri terus menerus merongrong hidup Ayah sampai aku jadi mendoakannya cepat mati.
Anak ayah ada tiga. Ya, aku punya dua adik beda ibu. Jarak usia kami lumayan jauh, terutama dengan Vania, adik perempuanku. Kalau dengan Jovan, adik laki-lakiku, kami jarang mengobrol.
Gara-gara Eyang putri, hidupku yang tadinya serba berkecukupan dan mudah, jadi susah. Ayolah, harga barang di Depok sebelas dua belas dengan Jakarta. Kalau mau makan layak dan healing-healing cantik, aku harus cari uang sendiri.
Aku ingat sambil menyusuri jalan Margonda, batinku sibuk merapal serapah supaya Eyang Putri kena kanker lalu mati. Mungkin karena doaku kelewat busuk, Tuhan malas mengabulkan. Bermodal ijazah SMA dan beberapa skill, aku mengetok pintu ke pintu menawarkan segala kemampuan yang kupunya.
Salah satu skill yang cukup bisa kubanggakan adalah bermain piano. Ayah memasukkanku ke sekolah musik sejak usia lima sampai lima belas tahun. Aku mahir memainkan lagu klasik dengan tingkat kesulitan di atas rata-rata.
Cari kerja nggak mudah! Aku punya tabungan sejak SMA, yang semakin menipis karena terpakai untuk makan. Satu minggu berjalan memasuki gang ke gang, aku kenyang menerima penolakan. Nggak banyak pekerjaan untuk remaja 18 tahun saat itu. Mau kerja jadi pelayan restoran, bentrok dengan jam kuliahku.
Saat tengah di puncak frustrasi, secerch cahaya menyala terang. Bocah laki-laki SMA berusia 15 tahun dengan rambut buzz cut membukakan pintu. Aku nggak menyia-nyiakan kesempatan untuk mendemonstrasikan kemampuan terbaikku. Anak laki-laki dan berondong itu adalah Ghivan. Dia langsung terpesona saat jemariku lincah menari di atas tuts piano memainkan La Campanella dari Paganini. Matanya nggak berkedip menyaksikan kecepatan tanganku.
"Keren, Kak!" ucap Ghivan bertepuk tangan.
Ibunya Ghivan merestui dua anaknya belajar piano bersamaku. Gajinya lumayan untuk makan sehari-hari, tapi nggak cukup untuk bersenang-senang.
Ghivan membantuku mendapatkan pekerjaan di kantor penerjemah milik tantenya. Namun kami belum saling jatuh cinta saat itu.
Kapan tepatnya kami saling punya perasaan? Aku nggak ingat. Sepertinya aku bukan tipe yang menyadari perasaanku. Ghivan lah yang menyatakan duluan saat aku dilantik sebagai advokat tiga tahun lalu. Dia membawa buket bunga ke Pengadilan Tinggi, tempat pengambilan sumpahku. Pada hari itu dia menyatakan perasaan dan aku menerima. Begitulah, pacar pertamaku adalah berondong.
Hubunganku seharusnya baik-baik saja kalau bukan karena ulah ibunya Ghivan. Aku merutuki diri sendiri karena mau-maunya datang lagi ke rumah Mak Lampir ini. Nggak bisa langung turun. Jantungku berdebar kencang, melebihi deg-degan kalau mau sidang.
Cih, memangnya siapa nenek-nenek itu? Kenapa aku gemetar ketakutan? Membangkang pada nenek kandung saja aku berani, apalagi pada orang yang nggak punya hubungan apa-apa. Aku nggak boleh jadi pengecut!
KAMU SEDANG MEMBACA
OUR SIMPLE DREAM
HumorDara, lawyer junior ini punya impian yang sederhana. Hanya mau hidup tenang tanpa ada orang yang nyinyir tentang kenapa dia belum nikah. Harfandi juga sama. Dokter Puskesmas ini bercita-cita memiliki rumah kecil yang akan dia huni dengan istri dan...