{ neck, nape, collarbones }

2.8K 470 16
                                    

{warning: description of drinking and alcohol. please consider this warning before you read. thank you ♡ }

Suasana hati Changbin tidak begitu baik hari ini.

Mungkin karena pekerjaannya mengalami sedikit hambatan. Mungkin juga karena ia melihat Felix sibuk bercengkerama dengan gadis tidak dikenal di DJ station di seberang lantai dansa. Changbin mendecih sembari menuang alkohol ke dalam gelas. Beberapa teman yang duduk bersamanya di VIP booth keheranan melihat gelagat Changbin yang segusar ini.

"Ada apa?" Bang Chan, produser kawakan sekaligus teman dekat Changbin, menelengkan kepala bingung ke arahnya. Changbin hanya meliriknya sekilas tanpa bicara dan bagi Chan itu sudah cukup sebagai jawaban atas pertanyaannya semula. Changbin tidak ingin diganggu.

"Gentlemen, kupikir kita sebaiknya kembali sekarang. Besok kita adakan rapat pukul tujuh pagi," Chan kembali bicara, kali ini pada orang-orang yang duduk bersama mereka. Ada lima orang lagi selain Chan dan Changbin yang menyambangi kelab malam ini. Dan tugas Bang Chan adalah menggiring mereka pulang agar Changbin bisa lebih leluasa menikmati kesendirian. Atau menyelesaikan urusan dengan pacarnya. Apapunlah itu.

Protes yang terdengar setelahnya sama sekali tidak membuat Changbin berhenti bergeming. Ia hanya mendengus sembari menyesap alkoholnya, melirik Chan sekali lagi agar pemuda itu lebih cepat bergerak. Bukannya Changbin ingin memerintah lelaki yang lebih tua darinya. Namun ia tahu Chan lebih suka tidak melihatnya memasang tampang masam yang sama esok pagi. Karena itulah Changbin meminta bantuan pemuda itu--secara implisit.

"Tenang, tenang. Changbin yang traktir," Chan akhirnya berhasil membujuk teman-teman yang lain sehingga mereka pun mengikutinya keluar. Setelah sosok Chan menghilang dari pandangan, Changbin meneguk alkohol yang masih tersisa dalam gelas sekaligus sebelum kembali mengisi gelasnya dengan cairan yang sama.

Kelihatannya Changbin tidak peduli dengan fakta bahwa ia memiliki toleransi alkohol yang rendah. Entah sudah berapa gelas yang ia minum, sepertinya cairan dalam botol tinggi di depannya berkurang cukup banyak. Kepalanya terasa berat, pandangannya berkabut. Bahkan matanya tidak lagi fokus ketika memperhatikan seberang lantai dansa. Apa Felix masih disana? Atau dia malah keluyuran dengan gadis-entah-siapa yang tadi berbincang dengannya? Changbin tidak ingin tahu.

Tangannya baru saja hendak meraih kembali botol alkohol di meja ketika tiba-tiba seseorang menepisnya. Changbin hampir merutuk jika ia tidak segera menyadari bahwa seseorang itu adalah Felix. Masker hitam yang menutupi sebagian wajahnya diturunkan sehingga Changbin bisa melihat jelas bibirnya yang tertekuk tidak suka.

"Hyung ngapain, sih?!" Felix berkacak pinggang. Changbin yang sudah lumayan mabuk terkekeh melihatnya. "Besok kerja, kan? Kenapa malah mabuk-mabukan di sini? Mana Chan?"

"Pulang," jawab Changbin singkat, refleks memejamkan mata karena kepalanya pusing.

Sekilas ia mendengar dengusan kesal Felix sebelum merasakan pemuda itu duduk di sampingnya. Dari balik kelopak mata Changbin bisa melihat Felix meraih ponsel dan dompet serta kunci mobil milik Changbin yang tergeletak di atas meja. Lantas jemari sang kekasih melingkar di pergelangan tangannya sebelum menarik Changbin untuk berdiri.

"Ayo pulang," Felix berkata tegas dan Changbin tidak bisa membantah.

Sepanjang mereka berjalan menuju area parkir, beberapa kali Changbin tersungkur karena pijakannya yang terlalu goyah. Felix sampai harus membopong Changbin dan menyeretnya dengan susah payah. Begitu mereka sampai di dekat mobil Changbin di area parkir, Felix bergegas menjejalkan Changbin yang mabuk ke jok penumpang di bagian belakang.

Ia tahu Felix kesal, tetapi Changbin tidak bisa menahan tawa geli ketika melihat wajah pemuda itu di balik pandangannya yang berkabut. Rasanya ingin mengepalkan tinju penuh kemenangan karena ia berhasil membuat Felix kembali memperhatikannya.

"Jangan tertawa, hyung!" Felix yang kesal memukul paha Changbin keras-keras, membuat pemuda itu mengaduh. Nadanya terdengar gusar, "Sudah jelas nggak bisa minum, kenapa kau malah minum sebanyak itu? Nanti kalau sakit lagi bagaimana?! Bukan cuma orangtuamu yang marah padaku karena tidak becus menjagamu! Semua orang bakal marah padaku!"

Felix ikut menjejalkan diri di samping Changbin di jok belakang sebelum membanting pintu mobil keras-keras. Dalam keremangan area parkir, Changbin bisa melihat wajah Felix yang memerah sembari melipat tangan di depan dada. Netra pemuda itu terlihat berkaca-kaca menahan air mata kemarahan. Changbin perlahan memperbaiki posisi duduknya meskipun hal itu membuat kepalanya terasa pusing. Setidaknya masih ada sedikit kesadaran dalam dirinya untuk tidak menertawakan wajah Felix saat ini.

"Hyung kalau ada masalah jangan dipendam sendiri," Felix bergegas mengucek matanya ketika bendungan di pelupuk mata hampir pecah, "aku nggak mau hyung sakit."

"Aku kesal...," Changbin akhirnya berkata dengan nada bicara yang dibuat senormal mungkin, meskipun masih terdengar seperti diulur-ulur, "...cewek itu...siapa dia? Kenapa dia...di dekatmu terus tadi?"

Felix berhenti mengucek mata untuk menatap Changbin, "Siapa maksudmu?"

"Yang tadi, Lix," Changbin menjatuhkan kedua tangannya ke sisi tubuh, "Jangan pura-pura lupa."

Barangkali alkohol yang terlalu banyak dalam pembuluh darahnya membuat emosi Changbin tidak stabil. Felix masih belum mengalihkan tatapan dan Changbin tahu ia sedang berpikir keras mengingat seseorang yang dimaksud Changbin barusan.

"Maksudmu...oh." Felix akhirnya menyadari. "Noona? Dia itu seniorku di kampus dulu dan kebetulan bertemu lagi di sini. Dia kolegaku sekarang." Changbin tidak merespons, pertanda ia masih belum puas dengan penjelasan Felix. Pemuda itu menghela napas sebelum menarik Changbin dalam pelukannya, membiarkan kepala Changbin bersandar di lehernya.

"Tidak perlu cemburu, hyung. Aku nggak punya ketertarikan sama siapapun selain padamu."

Changbin menelan ludah, merasa bersalah pada kekasihnya karena sudah bersikap seperti ini. Pemuda itu sejak awal sudah memperingatkan Felix tentang rasa cemburunya yang agak berlebihan. Dan yang membuat Felix berbeda dengan mantan kekasih Changbin yang lain adalah ia tidak merasa terganggu dengan sisi posesif dalam diri Changbin.

"Maaf," Changbin memberi kecupan ringan di tulang selangka Felix, membuat napas kekasihnya sedikit tercekat, "Terima kasih."

Felix mengangguk sembari mengecup puncak kepala Changbin. Dan pemuda itu memanfaatkan kesempatan untuk menyusurkan bibirnya di sepanjang leher Felix yang hangat. Napas Felix tercekat, mengantisipasi hal yang terjadi selanjutnya. Meskipun Felix tidak begitu suka disentuh Changbin yang sedang mabuk, tetapi ia tidak bisa menolak saat Changbin memperlakukannya dengan lembut seperti ini.

"Aku suka lehermu," nada bicaranya masih terdengar mabuk, tetapi Changbin terlihat cukup sadar saat menempelkan bibir di tengkuknya. Felix menggenggam punggung jaket Changbin cukup erat, mencoba menarik pemuda itu menjauh. Napasnya yang mulai terengah membuat kaca jendela mobil mulai berkabut.

"Stop it, hyung."

Changbin berhenti tepat seperti yang diinginkan Felix sebelum kembali pada posisi duduk yang benar. Di sampingnya, Felix memberengut. "Jangan bilang hyung ngasih tanda," Felix mengusap lehernya yang sedikit memerah karena perlakuan Changbin. Lelaki yang lebih tua mengedikkan bahu tidak peduli sebelum membiarkan tubuhnya merosot di jok mobil. Kepalanya mulai terasa seperti dihantam palu.

"Lix, sakit...kepala...," ia menggumam. Felix menghela napas keras sebelum memukul kembali paha Changbin.

"Tuh, kan. Dibilang juga apa. Ya sudah, kita pulang sekarang. Aku nggak bisa kerja lagi kalau begini, sih," gerutu Felix yang akhirnya merangkak ke jok pengemudi dan menyalakan mesin mobil. "Besok Changbin hyung yang harus tanggung jawab kalau Jisung marah-marah karena aku cabut."

"Ya, ya, t'serah," gumam Changbin setengah sadar sebelum lelaki itu jatuh tertidur di kursinya.***

of all the places worth to be kissed ✓Where stories live. Discover now