Bab 3 (& Informasi Baca Lengkap Neng Zulfa)

14.5K 799 41
                                    

Zulfa Zahra El-Faza

Lamat-lamat kulihat bibir Gus Fatih membaca basmalah, kemudian dipegangnya dengan lembut ubun-ubunku dengan kedua tangannya, kudukku meremang merasakan sentuhannya.

"Allahumma inni asaluka min khairiha wa khairi ma jabaltaha, wa a'udzubika min syarriha wa syarri ma jabaltaha (Ya Allah sesungguhnya aku mohon kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan wataknya. Dan aku mohon perlindungan-Mu dari kejahatannya dan kejahatan wataknya)," bisik Gus Fatih di puncak kepalaku. Persis seperti beberapa menit setelah ijab qabul kami berminggu-minggu lalu, saat ia menghampiriku di bilik kamarku yang ada di Kediri, kemudian menggandengku ke pelaminan.

Aku kembali menahan napas merasakan udara sejuk berembus dari mulut Gus Fatih di ubun-ubun kepalaku. Darahku berdesir. Kali ini dia mengecup keningku lama. Kami saling berpandangan lalu Gus Fatih menciumi seluruh wajahku, tangannya masih memegangi kepalaku.

"Uhibbuki fillah zaujati, insyaallah," katanya kemudian mendekap tubuhku dalam pelukannya, erat.

Srek ....

Sebuah suara berhasil menyentakku. Duduk. Kudapati diriku habis berbaring di atas ranjang. Kutoleh sisi kanan. Kosong. Tidak ada Gus Fatih di sana. Bahkan seprainya masih terlihat rapi dan tidak kusut atau lecek sama sekali.

Mungkin hanya mimipi. Ya, cuma mimpi!

Aku membuang napas lalu menyalakan lampu meja bagian sisiku. Mengerjap, kudapati Gus Fatih menatapku. Kepalanya menoleh dengan tubuh menghadap rak sandal-sepatu plastik di dekat pintu, sebelah kakinya masih menjulur menyentuhnya. Sekarang aku tahu dari mana asal suara tadi. Gus Fatih pasti tak sengaja menyeret rak yang penuh sandal dan sepatu itu.

"Maaf," lirihnya. "Kamu jadi terbangun." Gus Fatih memutar badannya.

Aku mengangguk lalu melirik jam di dinding. Jam setengah dua belas malam. Gus Fatih pasti baru pulang dari rumah makan melihat pakaian yang ia kenakan masih sama dengan yang tadi siang sebelum pergi. Kaus hitam dengan celana dan jaket levis biru belel.

Aku bangkit. Menuangkan air ke gelas yang ada di meja kamar lalu berjalan ke arahnya, menyerahkan gelas itu. Tanpa ia minta aku masuk ke kamar mandi, menyiapkan air panas untuk keperluannya mandi. Gus Fatih sudah menghabiskan minumnya begitu aku kembali. Setelah aku menyiapkan handuk dan baju ganti, aku langsung berbaring lagi.

Jangan tanya kenapa aku tak menyiapkan makan malam. Gus Fatih pasti sudah makan di luar. Seperti biasa, ia pasti makan malam di rumah makannya yang ada di daerah Wonosalam.

Aku, Ibu, dan Abah Kiai sudah biasa makan 'sendiri' tiap tiga hari sekali begitu dia pergi-sebenarnya Gus Fatih yang lebih pantas disebut makan sendiri. Namun, aku punya alasan kenapa makan malamku bersama Ibu dan Abah Kiai yang kusebut 'sendiri'. Alasannya tidak ada dirinya di sisiku-bisa jadi memang tidak akan ada, dalam arti yang lainnya.

"Belum bisa tidur lagi?" Gus Fatih baru keluar dari kamar mandi. Bagian bawah tubuhnya masih terbalut handuk dengan tubuh telanjang dada. Air masih terlihat mengucur dari kepala ke ruang di dahi putihnya.

Menelan ludah aku langsung memejamkan mata, tidak menyahut atau menganggukinya.

"Maaf, ya, hari ini pulangku lebih terlambat dari biasa, banyak urusan tadi." Suara berat Gus Fatih mengalun lagi di telingaku.

Neng Zulfa (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang