Prolog

35.6K 985 45
                                    

Srek srek srek ....

Suara sikat yang beradu dengan cucian terdengar riuh di telinga. Belum lagi suara gemericik air yang mengguyur dan membasahi tubuh di balik pintu kamar mandi yang berjajar rapi di sepanjang blok itu. Ditambah para santri putri yang berbaris mengantre di luar masing-masing pintu yang juga menciptakan keributan. Di antara mereka, ada yang asyik bergosip, ada yang melakukan olah vokal, ada yang berteriak-teriak karena tidak sabar menunggu temannya di dalam, dan ada pula yang memilih berdiri menyandar di tembok sambil melalar hafalan nadhom.

"Neng Zulfa, yakin tidak mau mencalonkan diri jadi ketua pondok putri tahun ini?" tanya seorang santri bernama Dewi sambil terus bergelut dengan cucian yang disikatnya.

Santri putri berparas ayu di samping Dewi itu menggeleng, tangannya juga sibuk menyikat. "Tidak, De. Aku tidak pantas mencalonkan diri jadi ketua pondok," jawabnya seperti gumaman. "Banyak yang lebih pantas dariku."

Suara lirihnya itu membuat Dewi, sang sahabat yang juga merupakan seorang abdi ndalem menoleh. "Kenapa, Neng?" Dewi menghentikan gerakan tangannya. "Neng Zulfa, kan, salah satu santri berprestasi di pesantren ini," Dewi menyentakkan cucian sebelum melanjutkan, "pasti bakal terpilih kalau maju!" tandasnya.

Zulfa hanya diam dan terus mendengarkannya.

"Di antara santri putri lainnya, Neng Zulfa adalah kandidat ketua pondok terbaik di sini. Apalagi Neng Zulfa kan punya darah biru," dukung Dewi lagi.

Dewi berhenti menyikat dan lantas menatap Zulfa. Menanti respons sahabatnya yang merupakan putri seorang kiai besar di daerah Kediri itu, tetapi Zulfa tak segera merespons. Mata Zulfa malah menatap kosong ke depan, menerawang dinding berlumut yang kian hijau di depannya itu.

"Aku banyak kesalahan, De," sahut Zulfa akhirnya, pelan tetapi masih jelas terdengar. "Ya sudahlah, aku ke kamar dulu, ada cucian yang tertinggal." Zulfa bangkit, membasuh tangannya yang berbusa dengan air kemudian pergi.

***

"Ada apa ini, Zul? Kenapa hafalanmu amburadul begini?" tanya Ustaz Imam di depan kelas pada Zulfa. "Kata para ustaz dan ustazah kamu juga sering tidak memperhatikan pelajaran akhir-akhir ini. Ada apa? Kamu punya masalah?" Ustaz Imam meletakkan buku nadhom Alfiyah yang dipegangnya ke meja.

Zulfa menunduk. Diam. Entah tidak berani menjawab atau memang tidak ingin. Matanya terus menatap ke ubin kelas. Kedua tangannya tak henti meremas jari-jemarinya satu sama lain.

"Saya jadi ragu kamu bisa mewakili pesantren kita di lomba lalaran antarpesantren salafiyah tingkat nasional jika kamu terus begini." Ustaz Imam terdengar kecewa. "Dewan asatidz sangat berharap banyak darimu, Zulfa. Jadi, perbaiki hafalanmu, ya?" Beliau menarik napas dalam lalu bersandar di kursinya.

"Enggeh, Ustaz." Zulfa manggut. "Insyaallah," lanjutnya tanpa berani mengangkat wajah.

"Neng, ada yang mau kutanyakan!" Tiba-tiba Dewi menarik tangan Zulfa seusai tadrisud diniyah, mengajaknya duduk lagi di kelas yang sudah sepi ditinggal kembali ke asrama oleh santri putri lainnya. Mereka sudah mengantuk dan ingin beristirahat di kamar masing-masing. Jam dinding kelas sudah menunjukkan pukul 21.00 WIB.

"Di mana Neng Zulfaku yang selama ini?" tanya Dewi menggerakkan ujung dagunya ke depan.

Zulfa mengerutkan kening, tidak mengerti apa yang dikatakan Dewi. "Maksud kamu?" tanyanya.

Neng Zulfa (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang