Bab 1

18.4K 825 27
                                    

Zulfa Zahra El-Faza

Sudah dua minggu Gus Fatih resmi menjadi suamiku. Akad nikah diadakan di Kediri, rumahku. Lalu seperti adat orang ala Jawa Timuran, resepsi diadakan sehari setelahnya. Bedanya resepsi pernikahan kami dilangsungkan dua kali, sehari di Kediri dan sehari di Jombang.

Acaranya tidak mewah tetapi cukup meriah. Yang hadir banyak, sangat malahan. Mereka wali para santri Abah-Umi, Kiai dan Bu Nyai-yang sekarang menjadi mertuaku, para alumni, tokoh masyarakat dan warga sekitar, saudara, kerabat, teman-temanku maupun Gus Fatih, juga tamu para masyayikh dari berbagai pesantren di Jawa Timur. Bahkan ada juga yang datang jauh-jauh dari Jawa Tengah dan Jawa Barat-para masyayikh sahabat kedua orang tua dan mertuaku. Semuanya datang untuk mendoakan pernikahanku.

Ya, pernikahanku. Pernikahan ini bukan hanya sekadar pernikahan antara aku dan Gus Fatih, suamiku. Tidak sekadar menyatukan kami dalam ikatan suci. Secara tidak langsung pernikahan ini juga menjadi penyatuan dari dua pesantren besar milik Abah dan Kiai. Dan itu sudah biasa terjadi di kalangan kami. Kalangan keluarga pengasuh pondok pesantren. Perjodohan, menikah karena dijodohkan. Meski kenyataannya Gus Fatih dan aku sudah pernah memiliki hubungan sebelumnya.

Aku tidak pernah menyangka semuanya akan terjadi. Hari itu saat Abah dan Umi datang menyambangiku bersamaan Kiai dan Bu Nyai yang memanggilku. Kukira mereka mau menambah hukumanku. Hatiku sudah berdebar hebat saat itu, apalagi saat melihat keberadaan Gus Fatih yang semakin memperkuat dugaanku bahwa akan ada takziran tambahan.

Aku sudah pasrah waktu itu, tetapi ternyata aku salah. Abah dan Umi maupun Kiai dan Bu Nyai ternyata malah membicarakan niatan mereka untuk menjodohkanku dengannya, bahkan Gus Fatih sendiri menyetujuinya. Aku dibuat bingung karenanya, terlebih kemudian mendengar Abah yang mengatakan kesiapan Gus Fatih untuk segera menikah denganku.

Perasaanku campur aduk. Saat mereka menanyakan pendapatku aku hanya bisa diam dan meminta waktu untuk berpikir dan mengambil keputusan. Usiaku saat ini 19 tahun dan Gus Fatih lebih tua empat tahun dariku, usianya 23 tahun. Aku tidak yakin kami bisa berumah tangga.

Masalahnya bukan pada Gus Fatih, masalahnya adalah padaku yang masih terlalu labil. Aku khawatir mengecewakan kedua keluarga dan Gus Fatih yang akan menjadi suamiku. Aku takut tidak bisa menjadi istri yang baik, takut belum mampu hidup berumah tangga walau pendidikanku di madrasah diniyah sudah rampung, tinggal menunggu hasil ujian dan wisuda. Bagaimanapun aku merasa masih terlalu muda untuk berumah tangga.

Selama seminggu aku memikirkannya. Senang sebenarnya mendengar kesediaan Gus Fatih menikahiku. Itu berarti dia benar serius padaku, tetapi bagaimanapun juga masih ada keraguan dalam hatiku.

Aku baru yakin dan setuju setelah melakukan salat Istikharah di hari ketujuh dan bermimpi berjalan beriringan dan begandeng tangan dengan Gus Fatih-untuk ke sekian kali, mimpi yang sama selama tujuh hari berturut-turut. Aku pun mendatangi Abah dan Umi yang sengaja menginap di Jombang karena menunggu keputusanku setelah didesak Dewi yang sejak awal menyuruhku langsung menerima perjodohan ini.

Aku tidak langsung mengatakan kesediaanku juga tentang mimpiku, melainkan meminta Abah dan Umi untuk menanyakan sekali lagi keseriuasan keputusan Gus Fatih terlebih dulu. Aku takut kalau sebenarnya dia juga ragu akan perjodohan kami. Tak disangka, Gus Fatih kemudian yang malah meyakinkanku sendiri. Dia meminta untuk dilakukan pertemuan lagi untuk bicara berdua denganku sebelum Abah dan Umi menyampaikan permintaanku padanya dan keluarganya.

Kami dipertemukan di ruang tamu ndalem dan dibiarkan bicara berdua dengan Abah, Umi, Kiai, dan Bu Nyai yang mengawasi dari ruang tengah. Setengah jam kami bertukar pikiran sampai Gus Fatih mengucapkan kalimat yang menjadi penguat keyakinanku untuk menyetujui penyatuan kami.

Neng Zulfa (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang