Bab 2 Demi Alin, Putri Semata Wayangnya

296 16 0
                                    

Dinda mencoba menutup matanya, percakapan semalaman tadi membuatnya sulit memejamkan mata, padahal jam menunjukkan angka 02.30 WIB, masih lama menunggu subuh, kalau hari ini tidak tidur, besok pagi banyak sekali acara yang harus di datangi, mulai dari reuni teman SMP, reuni teman Kuliah lalu sorenya dengan ibu ibu Pengajian di Masjid komplek perumahannya, belum lagi paginya mengantar Alin ke sekolah.

Di raih smartphonenya yang diletakkan sembarang di atas ranjang King Sizenya, ranjang yang sering ditidurinya sendirian. Selalu sendirian bahkan jauh sebelum suaminya meninggal, di jauh hari itu pula suaminya telah lebih dahulu jauh meninggalkannya, ayah dari anak semata wayangnya itu lebih memilih bersama wanita lain, bahkan menikahi wanita itu, diluar sepengetahuannya, diluar ijinnya. Sehingga kini dia terbiasa tergolek seorang diri di ranjang ini, dimana di ranjang ini kenangan dia saat menghabiskan malam pertama dengan suaminya, cinta pertamanya, di ranjang ini dia kehilangan keperawanannya di malam pertama dengan penuh cinta, namun kenangan – kenangan itu seakan akan menguap seiring ribuan luka tertanam di hatinya dan hati suaminya. Bagaimana tidak setiap kali mereka bertemu dan bicara hanya saling menyakiti satu sama lain.

Mengingat kenangan menyakitkan itu membuat Dinda kembali ke alam sadarnya, di tatap layar smartphonenya dengan hati berdebar, lelaki di ujung sana, entah sedang apa di sana, sedang tidur dengan istrinya atau bahkan sedang mencumbu istrinya, Dinda menjengit pedih, hatinya seperti tercubit jika ingat itu. Lelaki diujung sana semalam tadi telah meninggalkan kata kata manis yang mendebarkan, kata kata yang selalu membuatnya menarik ujung bibirnya, membentuk senyuman bahagia yang lama tak terbit di wajahnya. Debaran yang dirasakan ini, seperti rasa puluhan tahun yang lalu ketika mengecap rasa manis bersama suaminya, dulu sebelum dia menikah dengan suaminya.

Di letakkan smartphone ketika percakapan milik Hendra hanya terlihat tanda dibaca, namun seiring detik berganti menit, menit berganti jam, tidak kunjung ada balasan. Rasa sesak menyeruak menguasai hatinya sesaat, pikiran yang tidak tidak mengobrak abrik damainya, sepertinya rasa ini adalah rasa cemburu... Ya, rasa yang pernah dimenguasai hatinya saat kedatangan suaminya setelah sekian minggu tak pulang, pulang pulang suaminya datang membawa surat permohonan ijin menikah dan sebuah foto kelahiran putra pertama dengan wanita lain. Sungguh tak bisa di bayangkan olehnya, harus menghadapi kenyataan, orang yang dicintainya telah menikah dengan wanita itu, dan dikarunia seorang anak laki – laki, yang tak pernah bisa aku berikan pada suamiku. Rasa itu begitu perih dan ngilu, seperti benda tajam mengiris - iris hatinya menjadi berkeping keping. Namun dilenyapkan semua ke egoan seorang Dinda, ditepis hasrat Dinda untuk memiliki seluruh cinta Suaminya, demi Alin, putri semata wayangnya, diterimalah semua yang disodorkan suaminya, istri kedua dan anak tirinya. Diterima semuanya meski harus berbagi.

Semenjak kematian suaminya, Istri kedua suaminya dan anak tirinya itu Dinda tak pernah mengetahui tempat tinggal mereka, dan bagaimana keadaan mereka, Dinda tak peduli. Yang diresahkan saat ini hanya satu, yaitu, jika suatu saat mereka datang untuk mengambil hak hak mereka, hak gono gini yang tertunda. Apalagi yang tersisa untuknya, khususnya untuk Alin putrinya semata wayangnya, apalagi yang harus Dinda lakukan demi kelanjutan hidup. Sedangkan dia sendiri tak bekerja, Dinda mengacak rambutnya frustasi.

Dinda menggeser tubuhnya di sisi ranjang yang biasa ditiduri suaminya, hangatnya masih terasa, serangan jantung yang telah merenggut nyawa suaminya, pertengkaran hebat dua malam sebelumnya mungkin menjadi pemicu serangan itu. Bagaimana dirinya marah, mendengar suami membahas tentang harta waris istri kedua, bagaimana tidak marah, ketika pembahasan mengarah pada pembelaan terhadap hak hak istri kedua, dan keturunannya, hak hak anak tirinya. Dari sekian banyak kesabaran, satu amarahnya kali ini melewati ubun ubun, kata kata menyakitkan saling lempar, saling menjatuhkan hingga salah satu kata menyulut amarah besar suaminya dan mampu merobohkan tubuh suaminya yang memang sudah rapuh.

Dinda mencium aroma suami di bantal yang tergolek disampingnya. Bagaimanapun dia pernah mencintai suaminya, seperti dia mencintai anaknya. Saat ini rindu canda tawa bertiga yang dulu pernah ada itu, juga menyusup di hatinya, rindu. "Ahh..Maafkan aku Pap, bukan maksudku membuatmu marah dan mendapat serangan jantung seperti itu hingga membunuhmu, memisahkan aku dan kamu, juga kamu dan dia. Juga memisahkan kamu dengan anak anakmu. Maafkan aku. Mungkin jikapun diulangi lagi waktu kita dari awal, semuanya akan tetap seperti ini. Dulu kita saling mencintai berakhir saling membenci dan saling melukai."

Sekarang hadirnya Hendra sebagai pengganti pengisi kekosongan hati semakin sering mewarnai hari hari sepinya, masih ingat pertemuan pertama mereka, Dinda dan Hendra, di majlis baca Qur'an, waktu itu Hendra sebagai ketua panitia, dia jadi sekretarisnya, pertemuan pertemuan yang intens berlanjut hingga sekarang, lelaki itulah yang memberinya kekuatan menghadapi ketidakadilan yang dilakukan suaminya, lelaki itu pula yang memberinya nasehat nasehat agar lebih bersabar dalam menghadapi kenyataan pahit, menghadapi cobaan yang tidak ada habisnya. Lelaki itu yang membuatnya mampu meredam luka akibat dari ulah suaminya. Lelaki itu yang memberinya kekuatan agar bisa melewati hari hari terberatnya selama ini.

Dan yang disayangkan lelaki itu sudah beristri, dan dirinya sangat kenal istrinya Hendra, namanya Maya, Maya adalah seorang wanita yang pendiam, tak banyak bicara, kalaupun bicara hanya seperlunya. bahkan lebih suka mengulum senyum daripada ikut ikutan berdebat di forum seperti ibu muda di lingkungan komplek perumahannya. Mereka saling mengenal, Dia, Dinda, Maya dan Hendra, karena mereka bertetangga dekat. Ya sangat dekat, saking dekatnya setiap Hendra berangkat kerja dia juga bisa melihat bayangnya melintas di depan rumah. Seakan ikut mengantar kepergian Hendra mengais rejeki. Begitu ketika saat kembali pulang, Dinda buru buru membuka korden jendela rumahnya sekedar melihat sosok Hendra, agar rindunya sedikit terobati. Dan senyum pun terbentang di wajahnya setiap sudut matanya bertemu pandang dengan Hendra yang sengaja menatap rumah Dinda.

Percakapan percakapan yang saling menguatkan itulah yang tanpa terasa menjadi kebiasaan atau lebih pada menjadi rutinitas harian. Percakapan yang dulunya berisikan diskusi diskusi tentang pernikahan, tentang politik, dan isu isu terupdate, sepertinya mulai berubah menjadi sebuah pembicaraan mesra, pujian - pujian bahkan ungkapan sayang, tak jarang berbaris baris puisi sering terlontar akhir akhir ini, puisi penuh pemujaan Hendra pada dirinya mulai menghiasi layar smartphonenya. Seperti hari ini tadi dari pagi hingga jelang lelapnya, masih sempat di baca meski belum terbalas.

Hendra memang usianya jauh di bawahnya, awalnya dirinya hanya menganggapnya teman bicara, sikap dewasanya yang jauh dari usia sebenarnyalah yang membuat Dinda mengagumi, bahkan memujanya. Benarkah dia mulai jatuh cinta? Tidak hanya sekedar kekaguman semata? Kesedihan sepeninggal suaminya bahkan terasa ringan kini, ada pengganti yang lebih dari perlakuan suaminya dulu. Bukannya membandingkan, tapi semua ini terjadi begitu saja, tanpa bisa di cegah, memuja suami wanita lain, seperti ini rasanya, ada cemburu, ada rindu, berbaur bersatu padu, hadir silih berganti, mengisi relung relung kalbu.

DIANTARA KITA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang