Enam

378K 15.7K 262
                                    

Gigi tertawa mendengar lelucon Daniel, rekan kerjanya. Dia menutup, mulut, memukul bahu Daniel dan kembali tertawa. Gigi sedang berada di lantai dasar, duduk di lobi kantor sembari menikmati hangatnya kopi susu.

Jam istirahat, dimanfaatkan Gigi untuk berkumpul bersama teman seperjuangannya Daniel, Alexa dan Marsya. Meski bekerja di perusahaan yang sama, jarang-jarang mereka bisa berkumpul begini.

Berbentrok waktu antara satu dan yang lain, menjadi penghalang yang sangat mengganggu.

"Sudah ah, jangan dibahas lagi." Gigi mengibaskan tangan. Mencoba berhenti tertawa dengan cara meminum kopi di gelasnya. 

Teman-temanya mengikuti, meski tawa masih tersisa.

"Pulang kerja nonton, yuk," ajak Daniel. "Kita udah lama enggak nongkrong di luar."

"Boleh." Alexa dan Marsya mengangguk dengan senyum lebar, tapi tidak dengan Gigi.

"Aku gak janji ya." Gigi memasang wajah memelas. "Kalian tahu kan, Pak Haga itu gak bisa di tebak jalan pikirannya. Kemarin dia ngizinin aku pulang cepat, belum tentu hari ini."

"Ya," ucap Alexa kecewa, membuat Gigi memasang wajah tak enak.

"Enggak asyik tahu gak Gi, kalau kamu enggak ada." Daniel merangkul pundak Gigi. Menyentuh rahang Gigi dan mendongakkan ke arahnya. "Enggak bisa izin pulang cepat gitu, mumpung kita semua lagi punya waktu kosong." Daniel sedikit menundukkan kepala, menatap mata Gigi dengan dalam.

Gigi tetap menggeleng, menepis lengan Daniel dari rahangnya. "Maaf," kata Gigi menatap kedua teman wanitanya dan Daniel.

Terdiam selama beberapa detik, ketiganya menghela napas pasrah. "Mau bagaimana lagi," kata Daniel mengacak rambut Gigi gemas. "Kamu punya bos yang super posesif, ngalahin posesif orang tua kamu."

Gigi tertawa, dia menyikut perut Daniel. Lalu tawa mereka semua terhenti saat deringan ponsel Gigi terdengar.

"Siapa?" tanya Marsya memajukan tubuhnya.

"Bos," kata Gigi mengambil ponselnya dan mengangkat panggilan tersebut. "Iya Pak,  saya akan segara ke atas." Gigi bangkit dengan buru-buru.

"Kenapa, Gi?"

"Pak Haga, dia suruh aku naik," kata Gigi yang mulai mengambil langkah menjauhi teman-temanya.

"Gi, liftnya kan belum nyala!" Gigi menghentikan langkah mendengar seruan Alexa.

Benar juga, lift sedang dalam perbaikan, kemungkinan besar akan menyala pukul 1 yang artinya sepuluh menit lagi. Tapi tidak mungkin juga, dia menunggu sepuluh menit lagi untuk sampai ke lantai atas. "Tanggah darurat," kata Gigi tak yakin.

Daniel berjalan mendekat. "Perlu aku temani?"

Belum Gigi menjawab, deringan ponsel di genggaman kembali terdengar, tanpa menjawab Gigi langsung berlari. "Enggak perlu Niel, aku bisa sendiri!"

Tergopoh Gigi berlari menaiki anak  tanggah. Setiap dua menit sekali Haga menghubungi, membuat Gigi memaksa kakinya terus bergerak, meski pegal dan lelah menyerangnya tanpa ampun.

Keringat sudah membanjir, Gigi baru sampai ke lantai 9, masih ada 8 lantai lagi yang harus dia taklukkan. Gigi terus menyemangati diri sendiri, agar mampu bertahan hingga sampai ke atas.

Andai dia Do Min Joo atau keturunannya, yang hanya membutuhkan waktu seperkian detik untuk sampai ke lantai paling atas. Sayangnya Gigi hanya manusia biasa, yang tak memiliki kekuatan sama sekali.

Keluar dari tanggah darurat, Gigi kembali berlari. Dia menubruk pintu ruangan Haga dengan napas tersengal. Menarik dan menghembuskan napas secara perlahan, Gigi mengetuk pintu.

Haga & Gigi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang