Sebelas

339K 15.7K 339
                                    

Selamat membaca

Gigi menepuk-nepuk kedua paha, dia terlihat sangat gelisah. Menggigit bibir, Gigi merapikan helai rambut sebelum diacaknya beberapa detik kemudian.

Dia bangkit, berjalan mondar-mandir di dalam apartemennya. Gigi berharap waktu berhenti sekarang, agar jam dinding tetap diposisi itu. Akan tetapi harapan Gigi sia-sia. Jam dindingnya tidak rusak dan meskipun rusak Haga tetap akan menjemputnya kemari.

Tidak ingin semakin gelisah, Gigi memutuskan turun. Menyambar tas di atas sofa, Gigi menyeret koper dengan langkah berat ke arah pintu.

Berkali-kali Gigi menarik dan menghembuskan napas panjang, dia terpekik saat membuka pintu dan menemukan Haga berdiri di sana.

"Pak, Anda sudah sampai di sini?" Gigi mengelus dadanya. Untung dia dan keluarganya tidak memiliki riwayat penyakit jantung.

"Hem." Haga menaik turunkan pandangan. Memperhatikan Gigi dari atas kepala sampai ujung kaki.

"Apa yang Bapak lihat?" Gigi mundur, merasa tidak nyaman atas pandangan Haga. Dia merasa di lecehkan.

"Tidak ada. Ayo kita pergi," ajak Haga melangkah lebih dulu. Dia tidak repot-repot menawarkan diri membawakan koper besar milik Gigi. Sangat gentle sekali bukan?

Kembali menarik napas panjang, Gigi berjalan keluar dan mengunci pintu apartemen.

"Gigi, cepatlah!"

Teriakan Haga membuat Gigi tersentak, dia mempercepat gerakan dan berjalan menyusul Haga. Sangat sulit, dia harus menyeret koper besar, tas di tangan dan juga high heels  yang sialannya juga tinggi.

Dengan tersengal Gigi masuk ke dalam lift, dia harus menarik dan menghembuskan napas secara teratur agar debaran di dada tidak terlalu menyakitkan.

Sampai di lantai paling dasar, sopir pribadi Haga sudah menyambut mereka di lobi.

"Biar saya bawakan, Mbak." Katanya ramah pada Gigi yang langsung mengucap terima kasih.

Gigi tidak menolak, dia lelah menyeret koper tersebut dan lagi mereka harus menuruni beberapa anak tanggah untuk sampai ke mobil.

Berharap mendapat halangan di jalan agar terlambat tiba di bandara, nyatanya percuma. Mereka tiba sangat cepat, bahkan sekarang mereka sudah duduk manis menunggu lepas landas beberapa menit lagi.

Dengan napas berat, Gigi memejamkan mata, berdoa agar dia baik-baik saja. Tangannya mendingin, jantungnya berdebar. Dia merasa akan pingsan sebentar lagi.

"Kamu kenapa?"

Membuka mata, Gigi menoleh lalu menggeleng. "Saya baik-baik saja, Pak."

Kenyitan di kening Haga, hanya dibalas senyum canggung oleh Gigi. Dia kembali memejamkan mata, menundukkan kepala agar Haga tidak bisa melihatnya dengan jelas.

"Kamu takut?"

"Tentu saja tidak!" Gigi menatap Haga. "Saya hanya gugup," kata Gigi mengeluarkan napas perlahan.

"Tidak perlu gugup, keluarga saya semua baik."

Gigi mengangguk, tapi dalam hati dia meragukan apa yang dikatakan Haga. Tidak mungkin lelaki itu bisa seperti ini jika dia memiliki keluarga yang baik.

"Kamu tidak percaya?"

"Oh... saya percaya, Pak. Percaya sekali," kata Gigi cepat. Dia memasang senyum lebar untuk meyakinkan Haga yang menatapnya curiga.

Haga mendengkus, dia kembali sibuk dengan berkas di tangan. Tampak sekali dia tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan Gigi.

Mengabaikan sang bos, Gigi memilih melihat ke luar jendela. Pesawat sudah mengudara, menunggu beberapa jam lagi barulah mereka akan tiba di Negara tujuan.

Haga & Gigi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang