Sembilan

338K 15.9K 379
                                    

Tolong kalau ada typo dan kalimat gak nyambung tandai ya.

Selamat membaca

Gigi menatap Haga dengan wajah super bingung, dia melirik kotak cincin di atas meja dan kembali menatap sang bos. Bertanya-tanya apa salahnya?

Berbanding terbalik dengan Haga, dia memasang wajah frustrasi. Seakan semua beban ada di pundaknya.

"Pak," panggil Gigi dengan suara pelan. Dia melirik Haga takut. Ingin bertanya tapi suara tak kunjung keluar. Memangnya apa yang dia perbuat sampai harus  tanggung jawab.

"Saya tidak mau tahu, kamu harus tanggung jawab,” kata Haga menatap Gigi tajam. “Jadi pacar saya. Itu yang saya mau.”

Gigi mengerjapkan mata, mencoba memahami apa maksud Haga. "Apa, Pak?" teriaknya sembari bangkit dari tempat duduknya. Tanpa sadar dia telah menggebrak meja saking terkejutnya.

"Jangan terlalu berlebihan, saya hanya membutuhkanmu satu minggu."

Gigi melongo, dia menatap Haga ngeri. Bisa-bisanya lelaki itu masih mempertahankan wajah datar setelah berhasil membuatnya kaget setengah mati.

"Untuk apa? Bukannya Bapak sudah memiliki kekasih?" kata Gigi menggelengkan kepala. Heran dan takjub melihat sang bos.

"Tidak ada lagi. Dan kamu di larang menolak."

Menggeleng  ngeri. Gigi bertanya-tanya apa Haga sakit, atau sedang kesurupan jin yang berada di gedung ini.

Kenapa pula Haga mengajukan permintaan gila. Berpura-pura menjadi kekasihnya. Yang benar saja? Gigi lebih memilih jomlo dari pada harus menjadi kekasih Haga.

Lelaki itu sepertinya memang sudah gila, seharusnya dia tidak di gedung ini. Haga lebih cocok di sebuah bangunan yang memiliki perawat dan pengawasan ketat.

"Kenapa harus saya, Pak? Kenapa bukan gadis lain." Gigi melirik sana-sini, siapa tahu jin dalam diri Haga mengamuk dan melukai tubuhnya.

"Karena kamu yang salah." Haga mengacak rambutnya, tampak begitu frustrasi.

Menarik napas panjang, Gigi semakin menatap Haga tak mengerti. "Salah saya apa, Pak?" Sungguh Gigi benar-benar tidak mengerti.

Haga tak menjawab pertanyaannya, lelaki itu memejamkan mata beberapa detik lalu membukanya. Dia menarik dan menghembuskan napas secara perlahan.

"Sepertinya Bapak butuh istirahat, saya keluar saja ya, Pak." Gigi hendak bangkit dan kabur dari hadapan Haga. Dia takut dan lebih takut saat lelaki itu menahan tangan dan menyuruhnya tetap duduk lewat tatapan mata.

Menarik tangannya, Gigi meletakan di pangkuan. Dia melirik Haga, lalu cepat-cepat memalingkan wajah. Ini menyebalkan sekali. Sang bos tidak menjelaskan apa maksudnya, dia meminta keluar juga tidak di izinkan.

"Saya punya banyak kerjaan, Pak." Gigi kembali berusaha agar di izinkan keluar. Sudah sepuluh menit dalam hening, jika saja dia duduk di mejanya sudah berapa telepon penting yang dia angkat.

"Saya Bos di sini, tentu lebih banyak pekerjaan saya dari pada kamu."

Mengusap tengkuknya, Gigi memilih menutup mulut. Biarkan saja lah. Sesuka Haga mau bilang apa, anak buah hukumnya wajib nurut.

"Ambil itu." Haga menunjuk kotak cincin dengan dagunya. Gigi menggeleng cepat, membuat Haga melotot marah.

Meringis, Gigi memilih berpura-pura tidak melihat. Dia menunduk, memainkan jemari di pangkuan.

Suara ketukan tangan Haga di meja, membuat Gigi semakin gelisah. Dia merapalkan banyak doa, berharap Haga akan tersadar dan mengusirnya segera dari ruangan yang tidak pernah membuatnya nyaman.

Haga & Gigi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang