180°

21 6 0
                                    

Aku tidak dilatih untuk bersikap jaim.

●●●

Duniaku mendadak berubah. Banyak orang baik bermunculan dan kerap menyapa keberadaanku. Aku bukannya tidak mensyukuri keajaiban ini, tetapi macam ada yang menjadi game player. Perasaan aneh membuncah seiring aku mencoba berpikir untuk keluar dari lingkaran ini. Ditambah lagi, kebebasanku seperti dirampas orang.

"Selamat pagi, Vio! Apa yang hendak kau lakukan di hari menyenangkan ini?" Satu orang menyapa.

Aku membalas salamnya dan menjawab sekenanya.

"Pagi(?). Mungkin berjalan kelimpungan seperti orang mabuk," jawabanku terdengar judes, ya? Memang, sih. Aku ingin menjauhi sapaan sok hangat itu. Termasuk orang-orang bertopeng dan bermuka dua di wilayah tempatku menghilangkan penat.

Orang pertama yang menyapaku itu berlalu sambil menyunggingkan senyum miris. Oh, come on. Apakah aku harus menjalani skenario menyebalkan ini setiap hari? Lebih baik aku membuat mesin waktu saja.

Lalu, orang kedua datang.

"Viola! Yo, sisteur! Lo udah ngerjain tugas matematika dasar yang sin blablabla itu belom? Mau dong," orang kedua merangkul bahuku sampai tulang selangkaku mau patah. Bayangin saja orang yang naif banget didatangi si raja nyontek cuman buat minta salinan. Nggak etis sekalee.

Lagi-lagi aku menjawab "paksaan" itu dengan perkataan menohok.

"Bukunya udah gue bakar. Lu mau gue suapin abunya biar bisa ngerjain sendiri?" Aku menekan kedua pipinya sampai mulutnya mencuat macam ikan koi. Lalu mencomot batu kali dan memasukkannya ke mulut itu. Hahaha, rasakan!

Orang kedua itu memuntahkan batu. Ia berlalu dengan muka semerah apel dan berteriak nggak jelas.

Kayak orang gila.

Ada satu makhluk lagi yang mengganggu ketenanganku. Seorang anak dosen dan selalu menebar keramahan pada siapa pun. Siapa pun itu tidak termasuk diriku. Kuakui dia tampan, dan.. mapan. Berbanding seratus delapan puluh derajat dengan gadis abal sepertiku.

"Assalamualaikum, Viola."

Skakmat!

"Wa'alaikumsalam. Kenapa sih?"

Ia yang akrab kusapa Roh mengulum senyum tipis di bibirnya. Aku jengah berlama-lama dengannya. Tetapi, masalah masa lampau menuntunku untuk menyanggupi permintaan yang ia ajukan.

"Tumben kamu datang jam tujuh pagi. Memang ada kelas hari ini?" Suaranya begitu lembut nun dalam. Aku tak bisa mengelak kalau ia begitu dermawan.

"Lagi gabut aja. Pengen lihat reaksi mereka setelah gue di skors,"

Roh menghembuskan napas berat. Tampaknya ada something wrong with him.

●●●

9 Maret 2019

Mi DiarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang