Zona Teman

2.2K 104 3
                                    

Copyright © 2019 AraNada. All rights reserved.

This book or any portion thereof may not be reproduced or used in any manner whatsoever without the express written permission of the author except for the use of brief quotation in a book review.

This is a work of fiction. Names, characters, businesses, places, events, locales, and incidents are either the products of the author’s imagination or used in a fictitious manner. Any resemblance to actual persons, living or dead, or actual events is purely coincidental.

**********

Pasti kalian tahu kan yang namanya friendzone? Yap, situasi di mana terlibat perasaan manis, debaran cepat pada jantung, darah yang mengalir dengan cepat, kupu-kupu yang menggelitik tapi kalian hanyalah teman. Dan ini hanyalah salah satu cerita basi yang sudah pasti kalian temui di antara berjuta-juta kisah friendzone.

Itulah yang aku lalui dan rasakan saat ini. Bagaimana rasanya berada di dalam situasi ini? Berat, karena rata-rata friendzone itu dilalui seorang diri dan juga tidak dapat berbuat apa-apa jika sebelah pihak melakukan hal yang tidak disukai terlebih jika berhubungan dengan orang lain. Rumit, pokoknya serba salah. Kalau ditanya sejak kapan tepatnya awal tahun lalu, jadi sudah sekitar setahun aku ekhem diam-diam menyukai dia. Memendam itu tidak enak tapi ya mau bagaimana lagi, aku yang menaruh perasaan jadi aku memilih diam.

"Jemput kan?" Aku sedang berbicara dengannya melalui telpon. Menagih janji untuk pergi ke taman bermain. Umur boleh bertambah, jiwa tetap harus muda.

"Nggak tau. Dania minta diantar soalnya." Jawabnya.

Aku terdiam, wow suasana hatiku langsung tidak karuan saat ini. Ingin rasanya aku menertawai diri sendiri tapi apa daya, lagi di kantor jadi nanti saja kalau di rumah. Dia jelas tahu, seberapa tidak sukanya aku dengan Dania atau dia tidak tahu? Ah, pokoknya seperti itu, lalu untuk apa dia menjemput perempuan itu? Yang memiliki janji dengannya itu aku bukan perempuan kecentilan itu.

"Loh kenapa jadi Dania?" Tanyaku penasaran.

"Soalnya mobilnya tadi dimasukkin ke bengkel, mogok di jalan tadi pas makan siang jadi aku diminta anterin dia pulang." Dia menjelaskannya tanpa perlu aku bertanya lebih lagi.

Tetap saja aku tidak terima. Alasan saja mobilnya mogok, jelas-jelas karena ingin mencari perhatian.

"Terus aku gimana? Janjinya gimana?" Tanyaku protes.
Aku tidak suka jika harus menunda-nunda sesuatu yang sudah direncanakan dari jauh hari.

"Kamu naik ojek online aja. Janjinya tetap aku tepati."

Aku menghembuskan nafas dengan kasar, sengaja biar dia mendengarnya. Enak sekali dia berkata begitu, bagaimana dengan perasaanku.

"Ya sudahlah. Aku nggak terima telat, telat 5 menit, aku pulang."

"Iya iya."

Panggilan telpon itu pun dimatikan olehku, tanpa adanya ucapan manis seperti bye, sampai jumpa di sana dan sebagainya. Tidak ada seperti biasanya. Dia harus tahu kalau aku kesal dengannya.

Aku menatap layar ponselku dengan sendu. Mencintai seperti ini harus tahu konsekuensinya, harus mampu bertahan atau bisa saja menyerah.

"Ra, ini gimana desain buat pamfletnya? Sudah kamu bikin?"
Aku menoleh dan mendapati manajer tim desain Devano namanya, sedang berdiri di sebelahku sambil menunjukkan draft pertunjukan musik jazz.

"Sudah kak tapi masih perlu aku halusin dulu, 30 menit lagi aku anterin ke kakak." Ujarku pada Devano.

"Oke." Devano pun berbalik kembali ke mejanya.

Saatnya kembali bekerja. Lupakan tentang cinta, lupakan tentang dia untuk sementara. Fokus, bekerja.

Ngomong-ngomong hanya ingin sedikit berbagi tentang manajer tim si Devano, dia itu cakep, tinggi, putih, badannya tegap berotot, pembawaannya menyenangkan, tenang dan ramah. Fansnya banyak, dari semua bagian yang ada di kantor ini kayaknya ngefans sama dia. Ya bagaimana tidak, tampan, mapan, umurnya pas untuk menikah 29 tahun, pribadinya top dan yang terpenting masih single bos, sudah tentu banyak yang mau. Terkecuali aku, kalau ditanya kenapa, mungkin karena dia memperlakukan semua orang sama rata, bukannn... bukan berarti aku mau diperlakukan berbeda hanya saja ketulusannya yang menjadi teka teki yang tidak terpecahkan olehku sampai saat ini.

Bukankah aku harus kembali bekerja? Ya, kerja, aku tidak ingin ditegur karena mengucapkan kata kosong, karena aku juga tidak menyukai kata-kata yang tak ada isinya.

...
Saat ini aku sedang berdiri di depan pintu taman bermain dengan suasana hati yang mulai kacau. Kalau orang-orang melihat dapat dipastikan wajahku sudah memerah dan mungkin akan segera berasap. Sudah 20 menit aku menunggu sang 'kekasih hati' datang tapi masih tidak ada tanda-tanda kedatangannya. Aku seperti orang bodoh saja, apalagi aku memakai stiletto aku lupa membawa sneakers walau terkadang women pride is their shoes dan itu juga terkadang berlaku untukku.

Aku melihat arloji yang melingkar manis di tangan kiri. Ingin rasanya segera meledak saat ini karena melihat jam yang jatuh menit sudah berpindah menjadi 30 menit. Aku tidak akan menelponnya untuk mengingatkan, biarkan saja dia sadar diri. Sepertinya aku sudah tidak tahan menunggu, lebih baik aku pulang saja. Aku pun berjalan keluar dari taman bermain dan menunggu taksi di pinggir jalan dekat dengan lokasi taman bermain. Baru saja aku mau memberhentikan taksi, sebuah mobil pajero berwarna silver berhenti di depanku. Aku memerhatikan mobil itu dengan seksama, aku mengenal mobil itu dan tentu pemiliknya. Aku  menjadi semakin kesal melihat mobilnya, aku mengabaikannya dan meminggirkan diriku untuk mencari taksi.

Lenganku dipegang olehnya dan membuatku berbalik padanya. Aku diam, tidak berucap sepatah kata pun.

"Maaf aku terlambat." Katanya dengan nada yang terdengar menyesal, lihat juga raut wajahnya yang menampakkan penyesalan itu. "Dania tadi memintaku untuk menemaninya belanja keperluan rumah, aku kira masih sempat ternyata aku terlambat. Maafkan aku," jelasnya.

Kalian tahu aku benar-benar ingin meledak dan marah saat ini. Aku mengeraskan rahang dan hanya menatapnya dengan tajam. Aku memilih untuk tidak menanggapinya dan berjalan menjauh darinya.

"Nora! Nora! Tunggu!" Dia menarik pergelangan tanganku.

"Jangan pegang. Menjauh." Ucapku dengan penekanan. Tapi dia sama sekali tidak bergeming oleh karena itu aku menarik tanganku dengan paksa darinya, biarkan saja jika nanti akan memerah.

"Nora, aku minta maaf. Nor!"
Dia sudah tidak mengejarku lagi dan hanya berteriak. Aku berjalan dengan tertatih karena kakiku sakit. Airmata susah payah kutahan untuk tidak tumpah dengan cara menggigit bibir. Setelah aku rasa cukup jauh darinya, aku memberhentikan taksi.

He is My (Boy)friend [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang