Tempat Pertama

910 81 2
                                    

"Wahh kenapa di sini? Situ nggak kemping?" Tanyaku ketus.

"Dania aku anterin pulang, aku nggak mungkin kemping hanya berdua dengannya," ujarnya.

Sontak saja membuatku terkejut karena kukira dia akan berkemah berdua dengan perempuan itu ternyata tidak.

"Oh ya? Jangan membuatku tertawa." Aku menatapnya dengan dingin.

"Titania! Aku tau aku salah, tapi kamu juga tolong mengerti posisiku."

Baiklah nama tengahku keluar dari mulutnya. Pertanda dia mulai tidak sabar denganku. Tapi tunggu apa katanya? Aku? Mengerti posisinya ha.ha lucu sekali.

"Posisi apa?! Kamu suka sama dia? Kalau kamu suka sama dia ya jalan berdua sama dia nanti kan bisa. Kamu itu ada janjinya sama aku bukan sama dia! Beda ceritanya kalo memang kamu udah ada janji duluan sama dia!" Bentakku padanya.
Emosiku seketika tidak dapat tertahankan. Mendengar pernyataannya barusan membuatku mengurungkan niat untuk bersikap dingin.

"Aku nggak suka sama dia tapi kamu tau aku tidak tega menolak seorang perempuan," sanggahnya lagi yang kali ini benar-benar lucu.

"Iya tidak tega tapi kamu nelantarin aku, buat aku nunggu terus ngajak orang lain di acara kita. Aku perempuan! Tidak tega sama perempuan sebelah mana nya? Jadi menurutmu aku laki-laki? Begitu?"

"Nora, bukan begitu maksudku." Baru sadar melontarkan kata rupanya.

"Lalu apa?!" Tanyaku tidak sabar.

Airmata sudah mengalir dengan sempurna melewati mataku, airmata yang setengah mati kutahan di hadapannya.

Dia terdiam, tidak mengeluarkan sepatah kata pun dan hanya memandangiku dengan sendu. Matanya bergerak seperti mencari sesuatu di dalam mataku.

"Kamu kenapa menangis?"
Satu kalimat yang terucap dengan indah dari bibirnya.

Aku menatapnya dengan nanar lalu menghapus air mataku.
"Kalau kamu tanya kenapa, tanya dirimu sendiri Gar. Aku tau aku egois tapi kamu yang manjain aku. Ingat pas kamu lagi diajak keluar kota sama cewekmu tapi kamu menolak karena sudah memiliki janji lebih dulu denganku? Aku terbiasa dengan kamu yang tidak pernah mengingkari janjimu, aku terbiasa dengan kamu yang selalu mengutamakan aku padahal harusnya cewekmu yang di tempat pertama. Aku nggak bermaksud menyalahkanmu tapi semua ini juga karena aku yang membiasakan diri dan menutup mata juga telinga. Mulai sekarang, kamu utamakan cewekmu bukan aku, aku cuma teman mainmu dari kecil tidak lebih," cerocosku panjang lebar.
Katakan aku terlalu berlebihan, katakan aku terlalu bawa perasaan, masa bodoh. Hati dan perasaan bukanlah barang mainan. Entah karena aku yang terlalu percaya diri tapi kenyataannya memang seperti itu, posisiku selalu berada di atas pacar-pacarnya dan aku terbiasa akan itu.

Mungkin aku hanya kaget dan tidak terima ketika disepelekan terlebih mungkin juga karena perasaan suka padanya yang membuatku menjadi semakin kesal.

"Kamu selalu berada di tempat pertama Nora, bahkan sampai saat ini. Kamu pantas nyalahin aku yang emang sengaja manjain kamu dan selalu mengutamakanmu. Aku yang ngebuat kamu kayak gini jadi pantas kamu marah. Aku salah. Aku mengingkari janji. Aku memikirkan perasaan orang lain sebelum kamu. Aku salah Nora. Tapi tolong, jangan menyuruhku untuk tidak menemuimu, aku nggak sanggup, aku nggak bisa, aku menolaknya," kata Edgar dengan panjang lebar.

Dari balik matanya aku melihat rasa sesal yang dalam tapi bukan aku tidak ingin percaya hanya saja dia melakukan kesalahan yang aku tidak suka. Dia bukan orang yang baru mengenalku setahun dua tahun.

Aku menghela nafas lelah. "Gar, mending kamu pulang deh. Aku capek. Hariku hancur berantakan thanks to you."
Aku menunjuk sambil menekan dadanya dengan jari telunjuk. Aku lelah memarahinya, aku lelah berhadapan dengannya, hari ini terasa panjang.

"Aku nggak akan ke mana-mana. Aku harus memperbaiki kesalahanku padamu. Hari ini belum berakhir," katanya sambil menyimpulkan senyuman. "Gantilah bajumumu. Kita akan keluar."

Dia lalu mendorongku masuk ke dalam kamar dan menutup pintu kamar.

Kejadian yang tadi dia anggap apa? Tidak mengerti sepatah kata pun dan juga kenapa aku mau saja melakukan apa yang disuruhnya yaitu mengganti baju, mengambil tas dan langsung keluar kamar.

Dia memerhatikanku dengan seksama kemudian tersenyum lebar, menarik tanganku lalu menggenggamnya. Aku dibuat tercekat dengan genggaman tangan itu. Rasanya hangat dan tangannya terasa besar. Jemari itu tidak pernah menggenggam jemariku, baru kali ini.

Aku pun memilih diam dan membiarkan Edgar membawaku entah ke mana.

He is My (Boy)friend [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang