Membujuk

1K 86 0
                                    

Sepanjang malam dia menelpon, mengirim pesan tapi aku mengabaikannya, tidak sekali pun kuangkat atau kubalas. Sebenarnya dalam hati tidak ingin melakukan itu tapi dia keterlaluan.

Dia sudah sangat tahu dengan jelas bahwa aku tidak suka menunggu dan membuang waktu. Alasanku juga tidak lain karena Dania, dia menghabiskan waktunya dengan Dania sementara aku berdiri menunggunya.

Hari ini adalah hari baru jadi nikmatilah hari ini, jangan memikirkan hari kemarin, lupakan laki-laki itu.

Sekarang sedang jam istirahat makan siang, biasanya aku akan pergi mencari makan dengannya tapi untuk hari ini tidak tentunya. Aku akan pergi makan dengan rekan-rekan tim.

"Kak, tumben makan siangnya sama kita. Biasanya sama pacarnya," goda Sarah salah seorang rekan.

Aku tersenyum simpul, "aku nggak mau repotin dia. Sekali-sekali lah makan bareng kalian."

"Masa?? Bukan karena lagi berantem kan?"

Aku tercekat mendengar penuturan Sarah.
"Bukan, dan dia bukan pacarku, cuma teman," kataku.

"Iya teman yang lagi dalam tahap jadian," timpal Sarah tapi aku tidak menanggapi lagi kata-katanya.

Aku juga berharap demikian tapi aku tidak melihat adanya titik terang.

Sesampainya kami di lobi aku melihat laki-laki itu. Pria yang membuatku terlibat di dalam friendzone.

"Nah, kenapa dia di sini kak?" Sarah mengerling jahil padaku yang kutanggapi dengan senyuman tipis.

"Kalian duluan, nanti aku kabarin," ujarku pada mereka.

Aku tahu, kalian pasti bertanya ke mana manajer tim kami? Dia sudah lebih dulu keluar kantor jadi yang ada hanya kami, bawahannya.
Mereka pun berlalu meninggalkan aku yang sudah berdiri di depan Edgar, ya namanya adalah Edgar, teman yang aku sukai.

Aku menatapnya dengan dingin sedangkan dia menatapku dengan lesu.

"Ra. Kamu masih marah sama aku? Aku benar-benar minta maaf soal kemarin," katanya dengan pelan.

Aku menatapnya dengan lucu, ingin rasanya aku tertawa mendengar kata matanya.

"Gar, kamu udah tau aku nggak suka nunggu dan kamu buat aku nunggu. Kamu tau berapa lama aku nunggu? 30 menit aku nungguin kamu, berdiri kayak orang bodoh dan lagi aku pakai stiletto. Ha Ha."
Akhirnya aku memutuskan bersuara walau sebenarnya aku tidak ingin berbicara dengannya tapi sesuatu di dalam diriku seperti ingin dimuntahkan.

"Maaf Ra. Aku salah. Aku janji nggak akan aku ulangi."

Kita sudah kayak orang pacaran belum? Kesannya seperti pasangan yang sudah lama jadian tapi berbuat salah akan hal yang sama. Hahaha padahal ini statusnya berteman loh. Bagaimana aku tidak terbawa perasaan.

"Kamu bukan baru kenal aku Gar. Baru kali ini kamu nelantarin aku kayak orang dungu. Sesibuk-sibuknya kamu entah dengan kerjaan atau pacarmu dulu aku nggak pernah kamu buat nunggu."

Ya, memang benar Edgar tidak pernah membuatku menunggu selama itu, jangankan itu membuatku menunggunya pun tidak pernah. Pernah sampai aku dibenci oleh beberapa mantannya karena dia lebih mengutamakan aku.

"Iya aku tahu. Maaf Ra." Kulihat guratan sedih, sesal dan salah di wajahnya, semoga aku tidak salah lihat.

"Nggak tau Gar. Aku nggak pernah buat kamu nunggu. Udahlah. Aku lapar, udah mau abis jam makan siang."
Setelah berucap demikian aku memilih berjalan meninggalkannya dan menyusul rekan-rekanku, aku memang lapar. Perutku perlu diisi dengan yang lezat biar bisa berpikir dengan jernih.

"Tunggu Ra. Nora, makan bareng aku aja. Nora." Dia masih berusaha membujuk, kini dia berjalan di sampingku.

Aku menghembuskan nafas lelah, berhenti lalu berbalik menatapnya.
"Ya udah. Di tempat biasa," jawabku pasrah dan yang ku terima adalah senyumannya yang selalu menghantui malam-malam ku sebelum tidur.

"Mari tuan puteri." Dia seperti seorang pengawal saja yang memberi jalan untuk seorang puteri dan aku tidak tersenyum menanggapinya padahal dalam hati tergelitik akan kelakuannya itu.

"Bagaimana caranya aku untuk membayar kesalahanku kemarin?" Dia kembali mengajakku untuk berbincang dengannya. Aku meliriknya yang sedang fokus menyetir.

Sebenarnya gampang saja dengan menjauhi Dania. Ingin aku berkata begitu tapi, aku cukup tahu diri.

"Dan kamu pikir aku akan kasih tau gitu?"

"Noraa."
"Ya udah gimana kalo akhir pekan ini kita berkemah. Kamu mau? Hanya berdua."

Aku yang mendengar tawaran itu tergiur. Apa yang harus kulakukan, aku mau sangat mau. Itu lebih dari cukup untuknya menjauhi Dania.

"Gimana Nora? Mau kan?" Dia melihat sekilas padaku.

Aku menggangguk pelan, "Iya. Aku mau."

Segaris senyuman nampak di wajahnya. "Oke kalau begitu. Aku tidak akan mengecewakanmu lagi."

Aku hanya menanggapinya dengan gumaman. Kita lihat saja nanti sampai di mana keseriusan dari perkataanmu itu.

He is My (Boy)friend [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang