2

41 11 0
                                        

“Lah, elu kenapa? Muka ditekuk gitu. Masih pagi woi,” celetuk Indri di kelas Matematika keesokan harinya.

Amethyst memutar bola matanya jengah. “Berisik banget lo. Masih pagi.”

“Jangan bilang lo pilek gara-gara kemaren ngabisin enam cup besar es krim. Dan disaat hujan,” tuduh Indri.
Amethyst hanya nyengir tanpa merasa berdosa.

Baginya kemarin adalah salah satu hari terbaik. Menghabiskan es krim disaat hujan. Dua hal yang disukai Amethyst bersatu. Hujan dan es krim. Dan bagaimana mungkin Amethyst menolak keduanya?

“Gue nyesel beliin lo es krim kemaren. Kalau lo sakit, bisa-bisa Nathan bunuh gue,” gerutu Indri.

Amethyst hanya tertawa lepas dengan sengau saat mendengar gerutuan temannya. Indri hanya memutar bola matanya. Nathan adalah kakak laki-lakinya Amethyst. Umur mereka hanya terpaut satu tahun. Namun karena Nathan memiliki kepintaran yang luar biasa, sekarang ia sedang menyusun skripsinya. Sejak SMP, Nathan selalu mengikuti program akselerasi. Sehingga bila biasanya orang menghabiskan waktu 12 tahun menjadi siswa, Nathan hanya perlu waktu 10 tahun.

“Dan satu lagi. Nathan gak akan punya waktu buat bunuh lo karena dia sibuk pake banget. Selain mengerjakan skripsinya, dia juga harus melanjutkan perusahaan papa. Lo tahu kan, semenjak papa meninggal dua tahun yang lalu, yang ngurus perusahaan papa cuma orang kepercayaannya. Sekarang waktunya Nathan mengambil alih itu,” jelas Amethyst panjang lebar.

Ya, dalam hati Amethyst menyadari itu. Nathan yang masih muda namun harus mampu mengendalikan perusahaan ayah mereka. Tetapi Amethyst tidak melihat Nathan terpaksa melakukannya. Malah Nathan dengan senang hati melakukan pekerjaannya. Tetapi disisi lain Amethyst juga merasa sedih. Selama ini ia sangat dekat dengan Nathan. Dan setelah Nathan sibuk dengan dunia barunya, Amethyst merasa sendiri.

Mereka masih memiliki ibu. Bukan. Bukan berarti Amethyst memiliki masalah dengan ibunya. Ia dan ibunya juga sangat dekat. Namun ibunya juga seperti Nathan.

Dan sekarang – setelah ayahnya pergi – Amethyst sering merasa sendiri.

Memikirkan itu membuat Amethyst sedikit merasa sedih. Dengan segera ia tepiskan perasaan itu. Ia tidak boleh egois. Mereka bekerja untuk dirinya juga. Dan untuk mempertahankan perusahaan yang sudah dengan susah payah ayahnya bangun dari nol, Amethyst tidak boleh egois.

“Woi, Amethyst. Lah, malah bengong,” Indri mengguncang-guncang bahunya. Dan segera Amethyst tersadar dari lamunannya.

“Hm, kenapa?” taya Amethyst polos.

“Ck, malah ngelamun. Ngelamunin apaan, sih?” tanya Indri.

“Bukan apa-apa,” jawab Amethyst.

“Nggak mungkin,” ujar Indri.

“Beneran,” jawab Amethyst tak mau kalah.

“Oke, terserah. Jadi, apa yang tadi gue omongin?” tanya Indri.

“Yang mana?” balas Amethyst.

“Ck, bener kan gue. Lo nggak dengerin gue ngomong dari tadi.”

“Gue ngedengerin, Dee,”

“Nah, apa yang barusan gue bilang?”

Nah apa yang barusan gue bilang,” jawab Amethyst dengan polosnya.

“Gue jitak juga ni bocah.”

“Lah, salahnya gue dimana?”

“Salah lo tuh –"

“Amethyst Hutama dan Indri Blyton! Silakan kalian keluar dari kelas saya,” ujar suara tegas yang mampu mendirikan bulu kuduk.

Dengan segera Amethyst dan Indri menoleh. O-oh. Ternyata guru matematika mereka yang terkenal galak, Bu Kirana, sudah berada di kelas.

Sayap Pelindung yang PatahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang