Alis Alvin naik sebelah memperhatikan cara Amethyst makan. Baru kali ini ia meliht perempuan tidak menjaga makannya. Dikelilingi para pekerja seni dibidang hiburan membuat ia sering melihat perempuan makan dengan porsi super sedikit hanya untuk mendpatkan pinggang yang kecil. Malah dalam beberapa kasus, mereka cenderung sangat kurus.
Makanya Alvin sedikit bingung mendapati Amethyst menghabiskan dua porsi sate padang dan segelas teh manis di jam 9 malam. Para pemuja badan sekecil lidi mengharamkan diri mereka untuk makan diatas jam 6 sore.
"Lo laper apa doyan, sih?" tanya Alvin ingin tahu.
Sesaat tatapan Amethyst melotot menatap Alvin, namun sejurus kemudian matanya bersinar. "Gue suka banget sate padang. Dan kebetulan lagi laper. Jadi, bisa lo liat," jawabnya sambil menunjuk dua piring yang sudah kosong.
"Gue baru kali ini ngeliat perempuan nggak ngejaga makan."
"Nathan ngelarang gue."
Alis Alvin berkerut. "Siapa?"
"Nathan, kakak gue," jawab Amethyst.
"Oh" Udah selesai, kan? Ayo pulang, udah malem," ujar Alvin.
Amethyst mengangguk dan beranjak mendekati penjual sate. "Berapa semuanya, Mang?"
"Pesenannya sate padang tiga, jus jeruk satu, dan es teh manis satu. Betul?"
Amethyst mengangguk.
"Empat puluh lima ribu."
Baru saja Amethyst hendak menyerahkan uang, Alvin sudah lebih dahulu menyerahkan selembar uang lima puluh ribu. "Kembaliannya ambil aja, Mang. Makasih, ya. Satenya enak hehehe."
"Kenapa lo yang bayar?" protes Amethyst.
"Karena gue yang ngajak lo makan, jadi harus gue yang bayarin," jawab Alvin. "Lagian lo hari ini udah ngejalanin tugas lo. Anggap aja itu ucapan terimakasih dari gue," lanjutnya.
***
Dengan lega Amethyst membaringkan badannya di atas kasur empuknya. Ia benar-benar lelah. Setelah melewati hari pertama menjadi asisten pribadi Alvin, Amethyst merasa hal itu tidak terlalu buruk. Walau tidak bisa dibilang menyenangkan.
Tunggu dulu, tadi Alvin tidak mengucapkan terima kasih padanya. Padahal ia sudah mengucapkan terima kasih kepada Alvin karena sudah mentraktir dirinya. Apakah karena statusnya yang saat ini hanyalah asisten pribadi Alvin, jadi Alvin tidak mengucapkan terima kasih terhadap dirinya?
Mengangguk-anggukkan kepalanya sendiri, yah, Amethyst punya pekerjaan baru. Membuat Alvin belajar mengucapkan terimakasih kepadanya.
Pandangan matanya jatuh kepada smartphone yang ia letakkan diatas meja. Membuka kunci layarnya, Amethyst mendesah mendapati tidak ada satupun pesan yang dikirimkan Kevin.
Setelah bimbang beberapa saat, akhirnya ia memutuskan menelpon Kevin. Tunggu dulu, mengapa ia harus bimbang? Kevin adalah sahabatnya, Amethyst berhak mmenelponnya kapanpun ia mau.
Lagilagi Amethyst mendesah karena operator yang menjwab telponnya. Nomor Kevin tidak aktif. Tentu saja. Amethyst bodoh. Kevin pindah keluar negeri, jelas saja ia harus mengganti providernya.
Tidak menyerah, ia mencoba mengirim pesan melalui WhatsApp.
Lo udah sampai, kan?
Centang satu. Baiklah, Amethyst kembali berusaha positive thinking. Mungkin Kevin sudah tidur.
***
Amethyst menepati janji kepada kawan-kawannya. Hari ini ia mentraktir teman-temannya makan siang. Walau rencana awalnya mereka akan makan di luar sekolah, namun karena satu dan lain hal, akhirnya mereka terpaksa hanya makan di kantin sekolah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sayap Pelindung yang Patah
Teen FictionApa itu kebahagiaan? Apa hanya orang tertentu yang dapat merasakannya? Mengapa 'kebahagiaan' seolah membeci dirinya? Mungkinkah ini kutukan? Hanya cerita yang bercerita tentang Amethyst, seorang gadis remaja yang dibenci oleh 'kebahagiaan'.