“Halo, kenalin, gue Indri. Gue salah satu penggemar film lo,” ujar Indri ramah kepada Alvin saat jam istirahat.
Sebenarnya Indri sudah menahan diri sekeras mungkin agar tidak histeris.
Benar sekali. Pemeran utama di film yang Amethyst lihat sebentar tadi adalah Alvin Yudhistira. Orang yang membuat Amethyst kesal. Dan yang membuatnya lebih kesal lagi, ternyata Indri termasuk salah satu fans manusia menyebalkan itu.
“Hai. Gue Alvin. Senang ketemu sama lo,” ujar Alvin tak kalah ramahnya.“Kalau boleh tau, kita sekelas di pelajaran apa aja, ya?”
“Oh sebentar. Lo sama gue akan satu kelas di pelajaran Matematika, Bahasa Inggris, Fisika, Bahasa Prancis, dan Olahraga. Yah, itu semua,” jawab Indri.
“Terima kasih banyak. Gue harap lo mau membantu gue. Sekali lagi, terimakasih,” jawab Alvin.
“Pasti. Pasti gue akan membantu. Kalau perlu bantuan panggil gue aja, jangan sungkan-sungkan,” kata Indri. Setelah itu Alvin mengucapkan permisi dengan sopan.Amethyst yang melihat kejadian tersebut tak jauh dari situ, hanya menggerutu dalam hati dan mendengus.
Gimana mungkin ia bisa begitu ramah kepada orang lain, sementara ketika tadi pagi mereka bertemu sikap Alvin justru sangat ketus. Oke, mungkin kejadian tadi pagi memang salah dirinya. Dan Amethyst juga sudah meminta maaf, bukan?
“Kenapa lo?” tanya Indri ketika ia kembali ke meja tempat ia dan Amethyst duduk tadi.
“Gapapa. Udah pesan mi ayamnya?” tanya Amethyst.
Indri mengangguk. “Lo tau? Gue baru aja ketemu Alvin! Ya ampun, gue nggak percaya dia satu sekolah sama kita!” ujarnya dengan histeris.
“Iya, gue tau. Gue tadi ngeliat lo kenalan sama dia,” jawab Amethyst malas. “Dan bisa gue liat cara lo mandang dia. Kaya seseorang yang baru aja ketemu titisan dewa Zeus,” ujar Amethyst dengan sinis.
“Ck, gak gitu juga kali. Eh tapi mungkin lo ada benernya,” kata Indri. Amethyst mengerutkan keningnya tanda bahwa ia tidak mengerti. “Mungkin lo bener kalau dia keturunan dewa,” lanjut Indri.
Kalau pesanan mi ayam mereka tiddak diantarkan saat itu juga, mungkin Amethyst sudah menjitak kepala sahabatnya itu. Apa yang ia katakan? Mungkin benar bahwa Alvin keturunan dewa. Ingin rasanya Amethyst mencuci otak Indri agar sedikit benar dan bersih dari hal-hal berbau toxic.
Hm, tapi mungkin itu sedikit benar. Para dewa sangat sombong, kan? Mungkin Alvin mewarisi sifat tersebut.Tapi tunggu, tunggu. Apa yang ia pikirkan? Mengapa pikirannya sekarang melantur, gerutu Amethyst dalam hati.
“Halo, gue gabung, ya?” Tiba-tiba terdengar suara orang menyapa di samping Amethyst yang sedang melamun.
“Duduk aja,” jawab Amethyst setelah sadar dari lamunannya.
“Lo udah ngerjain tugas bahasa jepang, Indri?” tanya Kevin.
Indri hanya mengangguk karena mulutnya penuh dengan mi ayam. Bahasa jepang adalah ekstrakulikuler yang boleh diambil atau tidak. Dan Amethyst memutuskan untuk tidak mengambilnya.Ia merasa jauh lebih tertarik menghabiskan waktunya di perpustakaan membaca biografi para penemu dari pada harus membaca tulisan kanji yang membuat mata berkunang-kunang.
“Gue liat dong?” pinta Kevin cengengesan. “Jujur aja, gue agak bingung sama tugasnya.”
Indri memutar bola matany malas. “Alah alasan aja lo. Bilang aja lo emang nggak ngerjain.”
“Hehehe Indri peka, deh. Sayang Indri.” Indri langsung menendang tulang kering Kevin karena berbicara sembarangan.
“Sakit, bege.”
“Bodo amat. Siapa suruh lo ngomong sembarangan.”“Nanti pulang sekolah temuin gue di kelas Bahasa Inggris,” jawab Indri.
“Ulululu, mau ngajak ngedate ya?”
“Mau gue tendang lagi?”
“Ampun, Nyai. Galak banget buset.”
Amethyst hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan dua sahabatnya. Yah, ia tahu Kevin hanya bercanda. Indri sudah mempunyai tunangan, soalnya. Iya, tunangan.Dan Amethyst tahu kalau Kevin masih sayang nyawanya untuk tidak mengacaukan hubungan Indri.
Tunangan Indri itu seramnya melebihi guru BK yang menangkap murid laki-laki ketika berambut panjang.
“Lo mau gue anter pulang, Am?” tanya Kevin kepada Amethyst.
Nyaris saja Amethyst menganggukkan kepala kalau tidak ingat ia sudah berjanji akan menemani Nathan hari ini. “Sori, gue udah janji sama Nathan,” jawab Amethyst dengan raut wajah menyesal.
“Nathan ada di Indonesia?” tanya Kevin. Sebenarnya Kevin dan Nathan juga merupakan teman masa kecilnya, namun karena semakin lama kelas yang mereka jalani semakin berbeda – ketika Kevin SMP Nathan sudah SMA – maka hubungan mereka semakin menjauh.
“Iya. Beberapa hari yang lalu dia pulang,” jawab Amethyst.
“Dia pulang waktu lo lagi sakit?” tanya Indri. Amethyst lagi-lagi mengangguk.“Fix ini mah, Nathan bakal bunuh gue,” ujar Indri dengan berlebihan.
“Lo tenang aja. Gue nggak ngomong kok sama Nathan kalau lo berniat membunuh gue,” kata Amethyst mengerling jahil.“Lo kenapa nggak gabung sama temen-temen lo?” tanya Amethyst kepada Kevin.
Yang dimaksud Amethyst adalah teman-teman Kevin dari klub basket dan OSIS. Dan mereka semua sangat dekat dengan Kevin.
“Mereka lagi rapat OSIS,” jawab Kevin santai.
“Dan lo nggak?”
“Gue melarikan diri,” ujar Kevin dengan polosnya.
Amethyst memutar bola matanya.
***
“Capek?” tanya Nathan ketika Amethyst masuk ke mobilnya.
“Lumayan,” jawab Amethyst.
“Laper nggak? Ayo makan di restoran Jepang yang baru buka. Gue udah kesana dua hari yang lalu sama temen-temen. Dan emang beneran enak,” tawar Nathan.
“Hahaha... lo persis kaya sales yang lagi nawarin barang dagangan ke pembeli,” kata Amethyst.
“Gue kan cuma nawarin. Kalau lo nggak mau ya gapapa. Gue nggak maksa,” jawab Nathan dengan wajah merengut.
“Oke, maafin gue. Kita kesana. Kebetulan gue lagi pengen makan ramen,” ucap Amethyst.Namun sama sekali tidak ditanggapi. Amethyst berdecak sebal.
“Nate, jangan ngambek, dong. Gue kan udah minta maaf.”
“...”
“Nate, lo beneran marah?”
“...”
“Maafin gue, Nate,” ujar Amethyst dengan nada manja. Biasanya cara tersebut berhasil untuk membujuk Nathan.
“...”
“Ya ampun. Masa gitu aja ngambek, sih? Pantesan jomblo sampe sekarang,” sungut Amethyst yang dibalas pelototan Nathan.Yang benar saja, dia yang berbuat salah, kenapa sekarang malah mengatai Nathan?
“Oke, gimana kalau gue traktir es krim setelah makan ramen. Di tempat kita biasa makan es krim, yang es krim coklatnya enak banget ituloh. Mau kan? Ah, tiba-tiba gue jadi pengen makan es krim,” ujar Amethyst sambil membayangkan rasa es krim coklat kesukaannya.
“LO MAU MASUK RUMAH SAKIT, HAH? LO BARU AJA SEMBUH DAN SEKARANG MAU MAKAN ES KRIM LAGI,” teriak Nathan dengan nada marah.
Well, terkadang Nathan memang segalak itu. Mengalahkan mamanya. Dan Amethyst tidak sadar ia sudah salah bicara tentang ‘es krim’.***
“Makasih udah nganterin gue sampai sekolah dengan selamat,” ucap Amethyst dibarengi kekehan dan cengiran.
Nathan hanya mengangguk sebagai jawaban. Tangannya mengacak rambut atas Amethyst dan kemudian menarik Amethyst dalam pelukannya. Setelah itu mencium kening Amethyst. Ritual yang selalu dilakukannya bila mengantar Amethyst ke suatu tempat – dan ritual ini mulai terjadi sejak ia sibuk dengan urusan bisnis ayah mereka.
“Hari ini pulang sama siapa? Perlu gue jemput?” tanya Nathan setelah melepaskan pelukannya.
“Gue sih mau-mau aja kalau lo yang jemput. Soalnya lo sering traktir makanan kalau abis jemput gue hehehe. Tapi hari ini gue udah janji sama Indri.”
“Oke. Hati-hati,” ujar Nathan. “Tapi inget,” suara Nathan tiba-tiba menjadi tajam. “Jangan makan yang aneh-aneh lagi. Lo baru aja sembuh.”
Mendegar hal itu, Amethyst memutar bola matanya. “Lo salah dua hal.”“Pertama, es krim bukan makanan yang ‘aneh-aneh’. Es krim itu salah satu hal yang paling hebat yang pernah diciptain. Ah, rasanya gue mau sungkem sama yang udah nemuin makanan seenak es krim.”
Nathan menaikkan sebelah alisnya. Oke, mungkin adiknya mulai gila.
“Dan kedua. Gue UDAH sembuh seminggu yang lalu. Seminggu yang lalu, Nate. Dan satu minggu yang lalu nggak bisa disebut BARU AJA.”
“Santai, dong. Nggak usah ngegas,” kata Nathan yang kesal mendengar nada tidak santai Amethyst.“Semoga hari ini lo nggak ketimpa sial,” ujar Nathan saat Amethyst hampir menutup pintu mobilnya.
Amethyst memutar bola matannya. “Harusnya kata-kata itu buat lo.”
Bagi orang yang tidak biasa melihat kedekatan Amethyst dan Nathan, mungkin mereka akan dikira sepasang kekasih. Namun hal itu sama sekali tidak benar.Nathan menyayangi Amethyst melebihi rasa sayangnya terhadap dirinya. Dan merasa wajib menjaga Amethyst.
Meski terkadang Amethyst lupa seberapa beruntungnya dia memiliki Nathan, namun ia tetap merasa sangat bersyukur memiliki seorang kakak yang sempurna menyayanginya.
_________________________________________
Haloooooo
Chapter 4 udah dipublish yaa
Jangan lupa vote dan comment
Karena satu vote dan kimen dari masing masing kalian, sangat berarti buat saya
Hehehehe

KAMU SEDANG MEMBACA
Sayap Pelindung yang Patah
Teen FictionApa itu kebahagiaan? Apa hanya orang tertentu yang dapat merasakannya? Mengapa 'kebahagiaan' seolah membeci dirinya? Mungkinkah ini kutukan? Hanya cerita yang bercerita tentang Amethyst, seorang gadis remaja yang dibenci oleh 'kebahagiaan'.