-1 | Kecerobohan

19 2 0
                                    

Suasana menegangkan dan mencekam dirasakan oleh semua orang di kantor ini. Salah satu karyawan bagian pemeriksa aksara sedang di marahi habis-habisan oleh ketua tim Editor sebab adanya kesalahan dalam mencantumkan biografi penulis. Ya, itu aku yang sedang dimarahi bu Mia.

"Saya gak habis pikir ya sama kamu! Kamu tau?" jeda beberapa detik, wanita itu mengambil satu buku dari dalam kardus dan menunjuk buku itu di hadapanku yang masih menundukkan kepala, "Buku ini sudah lama saya janjikan akan segera terbit tahun ini, tapi sekarang giliran sudah ada waktunya untuk terbit dan juga tim Pracetak sudah mencetak lebih dari 5000 eksemplar. Mau diapakan semua buku itu? Kita bisa rugi, cuma gara-gara kerja kamu yang gak becus!" ucapnya, lalu melempar buku itu diatas mejaku dengan kasar.

Semua orang memperhatikan bu Mia dan juga aku yang tengah ribut di meja kerjaku. Malu banget aku di marahi secara terang-terangan gini.

"Ikut saya ke ruang rapat!" katanya, wanita itu berlalu meninggalkanku yang masih berdiri ditempat.

Aku berusaha menganggukkan kepala ragu, sepertinya air mataku siap untuk jatuh.

Tak mau membuat bu Mia lebih jengkel lagi terhadapku, aku pun menghampiri bu Mia ke ruang rapat.

Sesampainya di ruangan itu, bu Mia sudah melepas kardigan hitam miliknya. Sungguh teramat kagetnya aku, bu Mia menggubrak meja dengan kardigannya. Kalian tahu perasaanku? Aku mau hengkang aja rasanya dari dunia.

"Sekarang kamu mau apa? Kamu siap bertanggung jawab atau memilih out dari kantor ini, hah?" tanya bu Mia dengan wajah gusar. Kulihat, berkali-kali juga ia mengelap dahinya yang terus saja berkeringat.

"Tidak bu, saya siap bertanggung jawab." ujarku mengangguk mantap setelah berucap. Toh aku memang mesti tanggung jawab bukan.

Bu Mia mengambil kembali kardigannya dan memakainya. Dengan langkah cepat juga, ia pergi meninggalkanku sendiri untuk yang kedua kalinya. Aku pun itu merenungi ucapannya, sambil menggigit bibir bagian bawahku.

"Bunda.." rengekku dalam hati, aku mengotak-atik ponselku.

"Halo? Ada apa sayang?" tanyanya di seberang telpon sana, saat anaknya menelepon.

"Halo Bunda. Bun, bisa gak sih aku berhenti aja dari sini? Aku gak kuat bunda."

"Loh gak bisa gitu sayang, kaum lelaki itu menyukai wanita karir yang mandiri, mereka mengidam-idamkan wanita seperti itu untuk menjadi istrinya. Kalo kamu terus manja sama bunda gini, gimana mau dapet jodohnya, sayang?"

Lagi-lagi, itu lagi yang dibahas, Bundaku memang sangat menyebalkan. Selalu saja menuntutku untuk menikah secepatnya, padahal kan belum ada yang mau sama ku. Aku sih ayo-ayo aja, tapi hilal jodohku belum nampak guys.

"Iyaa, bun. Ya, sudah Kunala tutup telponnya, bye."

Aku keluar dari ruang rapat setelah menghubungi Bundaku. Aku kembali ke meja kerjaku, langsung saja mendapatkan perhatian dari semua rekan kerjaku. Meja besar bu Mia berada di depanku, wanita itu sepertinya sedang menelepon seseorang, dan benar saja bu Mia sedang menelepon tim Pracetak.

"Halo? Saya Mia Anandhita dari penerbit buku Bratadikara. Saya sudah memesan 5000 stiker untuk menutupi kesalahan dalam pencantuman biografi penulis. Nanti karyawan bagian pemeriksa aksara yang akan menempelkan stiker itu di 5000 eksemplar buku 'Sulit Menggapai Langit'. Ah, iya terimakasih."

Bu Mia menutup teleponnya, ia duduk di kursinya sambil bersedekap matanya juga menghadap ke arahku dengan sorotan mata menukik tajam. Tajam banget, pisau aja sampai kalah tajam.

"Kunala, segera kamu ke gudang buku. Tanggung jawablah atas kesalahanmu itu." ujar bu Mia. Aku hanya mengangguk patuh.

☑️☑️☑️

Sebelum benar-benar pergi ke gudang buku, aku mampir ke mini market terdekat untuk membeli beberapa cemilan, pikirku pasti nanti akan suntuk bila melakukan pekerjaan tanpa cemilan.

Aku mengambil beberapa snack serta minuman, menurutku itu pun sudah cukup.

"Maaf, mbak. Ada kartu lain?" kasir perempuan itu mengembalikan kartu kredit yang aku sodorkan tadi untuk membayar.

Aku membuka dompetku, lalu memberikan kartu lainnya kepada kasir perempuan itu, namun kartunya tetap tidak bisa. Begitupun sampai kartu ke empatku. Nggak mungkin banget kartuku overlimit, pasti bermasalah nih.

"Lama banget sih, mbak ini." omel ibu-ibu antrian dibelakangku yang sedang hamil besar sambil membawa keranjang belanjaannya.

Aku hanya bisa tersenyum malu, lalu bergeser dan mempersilahkan orang lain untuk membayar belanjaannya.

Beberapa orang sudah berlalu, kini aku masih di rundung kebingungan. Mbak-mbak kasir itu masih menatap sinis ke arahku.

"Terus ini gimana, mbak? Kalo gak punya uang ya, tidak usah belanja, mbak. Gayanya saja toh fashionable tapi misqueen." Sial, mulut mbak-mbak ini pedes amat, ya.

"Hm, anu- mbak, hmm.."

"Biar saya saja yang bayarin, berapa mbak?" Mata sipitku akhirnya menonjol keluar saking kagetnya. Saat ada seseorang berada disampingku tiba-tiba menyodorkan kartu kredit.

Ku perhatikan juga, mbak-mbak kasir itu matanya cemerlang banget pas melihat lelaki ini, sama sepertiku yang kaget bukan main.

Aku menatapnya, ganteng banget ini. Ah, tapi situasinya bikin aku malu. Sial.

"S-semuanya jadi 115 ribu, mas."

"Ini. Bayar juga sekalian punya saya." Mbak Kasir itu senyum-senyum sendiri sambil mentotali jumlah belanjaan.

"Maaf ngerepotin, boleh kenalan?" tanyaku, eh tunggu kenapa aku malah ngajak kenalan bukannya berterima kasih?

Tunggu, kenapa aku ngajak kenalan, gengsi dong. Eh, serius maluku bertambah dua kali lipat.

Barang belanjaanku sudah berada dalam tentenganku begitupun lelaki itu. Sehabis kartu kreditnya dikembalikan lelaki itu melenggang pergi tanpa menjawab pertanyaan yang aku lontarkan tadi. Mungkin aku, nggak sopan kali ya pikirnya. Merasa tidak enak atau benar-benar ingin tahu namanya aku mengikuti lelaki itu keluar mini market.

"Tunggu,"

"Sombong amat sih mentang-mentang ganteng, woi!" lanjutku

Aku terus saja meneriaki lelaki yang tidak ku ketahui namanya itu, sampai lelaki itu sudah menghilang tanpa jejak.

KULANKA | On Going Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang