r: rinai

1.8K 423 28
                                    

Sepertinya Calvin dan hujan jadi suatu hal yang sering bersinggungan.

Seperti kali ini, di salah satu kedai kopi, aku menemukannya sedang mengobrol seru dengan beberapa temannya.

Sementara aku sedang membuka laptop ditemani beberapa buku dan secangkir minuman hangat—yang sayangnya bukan kopi, meskipun ini kedai kopi—yang kupesan. Sebenarnya, aku menunggu tiga orang temanku. Mereka berjanji akan menyusulku ke tempat ini. Namun, hujan yang datang tanpa aba-aba itu berhasil mengurungkan niat ketiga temanku untuk menyusul ke tempat ini. Jadilah aku menyandarkan punggung, merasa lelah, dan saat itulah mataku menangkap sosok yang tak asing. Calvin.

Aku tak ambil pusing dan kembali melanjutkan kegiatan mengetikku. Tak berselang lama, seseorang memanggil namaku. Kepalaku terangkat dan mataku melebar.

"Iya, Kak?"

Calvin, ia berdiri di depan meja. Matanya menatapku lurus-lurus.

"Duduk... Kak?" Tawarku agak ragu, melihat Calvin hanya diam setelah memanggil namaku.

Tidak butuh waktu lama untuk Calvin duduk dan menjelaskan maksud kedatangannya. "Minggu lalu lo masuk kelasnya Pak Teguh?"

"Iya," sahutku cepat, kemudian pikiranku melayang pada satu minggu yang lalu di mana seharusnya Calvin masuk kelas. Tapi saat itu Calvin tidak hadir dan sepertinya tidak ada yang peduli. "Oh iya, Kakak kenapa—"

"Gue nggak bisa hadir," potong Calvin cepat. "Gue lupa ngabarin anak-anak kelas lo."

Aku mengangguk, tidak tahu harus merespon apa.

"Syif,"

Aku mengerjap cepat. "Ya?"

"Lo suka hujan nggak?"

Aku mengerutkan dahi, bingung. Tapi pada akhirnya aku mengangguk pelan.

"Kenapa suka?"

"Kenapa ya..."

"Lo tau, terlalu banyak hujan atau terlalu sedikit hujan itu bisa membahayakan, bahkan bisa merusak panen. Kalau kurang hujan, jadi kekeringan, jadi mematikan panen dan menambah erosi. Kalau terlalu basah bisa mendorong pertumbuhan jamur berbahaya."

Calvin tersenyum samar, sementara aku masih mencerna apa yang ingin dia sampaikan.

"Sama kayak pikiran lo itu," katanya. "Kalau lo terlalu sering tenggelam sama pikiran lo sendiri, lo bisa kena racun yang nggak pernah lo sadari."

Aku mengerjap. "Kenapa—"

"Jangan sering melamun. Bahaya. Syukur-syukur lo nggak kesurupan. Lagian, persetan sama omongan orang. Hidup lo, cuma lo sendiri yang paham."

Hari itu, aku tidak mengerti kenapa Calvin menghampiriku. Hari itu, aku tidak mengerti kenapa Calvin menanyakan kelas Pak Teguh. Hari itu, aku tidak mengerti kenapa Calvin mengucapkan hal itu.

Yang aku tahu, hari itu, Calvin mengucapkan apa yang kubutuhkan. Ia mengucapkannya di saat yang tepat, saat di mana diriku terlalu sering bermain dengan pikiranku sendiri hingga tenggelam.

"Satu lagi, udah gue bilang kalau Calvin aja cukup." katanya sebelum meninggalkan meja.

Hujan yang mulai mereda dan menyisakan gerimis, menjadi pengantar Calvin meninggalkan mejaku. Ia sekaligus meninggalkan hal yang sulit aku lupakan. Sampai sekarang.

Garis BatasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang