Lucu rasanya mengingat bagaimana suatu kejadian kecil bisa menjadi pengantar pada kejadian-kejadian berikutnya. Seperti antara aku dan Calvin, entah kenapa, sejak sering tidak sengaja bertemu, menjadi suatu pertemuan yang direncanakan.
Sampai akhirnya, kami berteman. Mengobrol ini-itu, membicarakan tugas, membicarakan hidup. Membicarakan apa saja. Calvin menjadi salah satu kakak kelas yang dekat denganku.
"Besok ketemu lagi, ya." kata Calvin suatu hari. Aku kira itu hanyalah basa-basi, nyatanya ketika kami bertemu lagi, Calvin menyapaku lagi, mengajak mengobrol lagi, dan mengucapkan hal yang sama lagi. Besok ketemu lagi, ya.
Gue di parkiran.
Begitu isi chat Calvin yang terakhir kubaca. Aku keluar gedung dan menemukan beberapa temanku memanggilku. Mereka mengajakku makan.
Kubilang, aku sudah ada janji dengan Calvin. Serentak saja mereka semua menggodaku, sementara aku tertawa canggung. Bagaimanapun, aku merasa antara aku dan Calvin tidak ada hubungan yang lain selain pertemanan. Rasanya aneh mendengar teman-teman menggodaku seperti itu.
"Makan apa?" tanya Calvin beberapa detik setelah aku duduk di dalam mobil.
"Apa ya..."
"Drive thru?"
Aku mengangguk. "Boleh,"
Tak berselang lama, Calvin melajukan mobil. Ia menyalakan radio dan terdengar suara Taylor Swift.
"Can we always be this close..."
Aku menoleh cepat. Beberapa detik kemudian aku menyadari kalau ia sedang mengikuti lagu yang diputar.
"Denger lagu ini gue merasa punya pacar, padahal gue nggak punya pacar." kataku.
"Kenapa?"
"Lagunya manis,"
"Hmm," Calvin mengetukkan jari di kemudi.
Setelahnya kami tak mengobrol apa-apa lagi hingga lagu selesai dan sampai di drive thru. Saat kami menunggu pesanan, Calvin membuka suara.
"Kita berapa kali ke sini?"
Aku mengangkat bahu sekilas. "Nggak paham, sering pokoknya,"
Calvin mengangguk-angguk. "Pantes. Rasanya nggak asing."
Aku tertawa pelan, membuat Calvin menoleh cepat. "Kenapa?"
"Lo nggak inget, ya?"
"Kenapa?"
Aku menarik senyum, membuat kerutan di dahi Calvin semakin jelas. "Waktu pertama kali kita ke sini itu setelah lo ngajak gue muter-muter. Lo izin merokok, dan gue mengiyakan. Lo denger radio, lo liat jalan, tapi gue yakin pikiran lo lagi nggak di dalam mobil. Gue cuma duduk di sebelah lo, bingung mau apa."
"Oh, iya," Calvin tersenyum seakan memorinya baru muncul kembali. "Sori kalau gue waktu itu random banget."
"Nggak apa-apa."
Calvin menatapku. "Lo nggak marah kan waktu itu?"
Aku menggeleng. Calvin membuka mulut ingin mengucapkan sesuatu, tapi terhenti saat pesanan kami sudah siap. Setelah membayar, kami kembali berkeliling kota sambil makan di di dalam mobil.
"Sip, lo nggak mau punya pacar?"
Aku tersedak. "Hah?"
"Nggak ada reka ulang,"
Aku mengerucutkan bibir. "Lagian apaan sih,"
"Lho, emang salah?"
"Enggak, sih..."
"Ya udah." katanya. "Sekali lagi, lo nggak mau punya pacar?"
"Nggak tau,"
"Kenapa nggak tau?"
"Ya, nggak tau?" sahutku.
"Kalau pacarnya gue mau?"
"Hah?" Aku menoleh cepat disertai ekspresi bingung, sementara Calvin cuma memasang senyum lebar di wajahnya.
"Gue serius."
---
A/N: Haiiiii! Lama nggak ketemu ya huhu. Aku kangen nulis dan kangen teman-teman semua. Semoga hari kalian baik ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Batas
Fanfiction"Sebenarnya, baik sama buruk itu apa, sih? Dan, oh ya, gue mau jadi orang jahat aja, biar nggak ada yang bisa lewatin batas."