Calvin itu manusia dengan dirinya sendiri.
Maksudnya, ia menjadi diri sendiri di saat orang lain lebih sering menutupi apa-apa yang akan terlihat di depan umum.
Calvin tidak mempermasalahkan itu semua.
"Gue bodo amat sama mereka. Kalau nggak suka, ya udah. Kalau suka, ya udah juga. Makasih." katanya suatu hari, saat kami sedang duduk menunggu ke dalam bisokop.
Setelahnya, aku bertanya, "Tapi pernah nggak lo merasa kenapa orang-orang nggak mengerti lo? Kok kayaknya nggak ada satu pun orang yang ada di pihak lo?"
"Ya, pernah," Calvin mengangguk. "Kalau gitu biasanya gue kabur,"
"Kabur?"
"Itu artinya gue perlu lebih banyak waktu buat diri sendiri." katanya.
Aku mengangguk, mulai paham.
"Lo pernah marah nggak dicap yang aneh-aneh sama orang?"
"Aneh gimana?"
"Ya... Misal, lo sombong, lo sok kaya, lo anaknya suka seneng-seneng doang, pokoknya yang buruk-buruk tuh sering banget gue denger sejak pertama kali denger nama Calvin,"
"Sebenarnya, baik sama buruk itu apa, sih?"
Aku membuka mulut, tapi tidak bisa menjawab apa-apa. Calvin tersenyum, kemudian tangannya bergerak mengacak rambutku sekilas.
"Gue nggak begitu paham sama definisi baik dan buruk yang sesungguhnya itu gimana. Yang gue paham, gue cukup menjadi versi terbaik diri gue sendiri," katanya.
"Bakal ada yang anggap gue baik, lo contohnya?" Calvin tersenyum di akhir ucapannya dan aku mengangguk menyetujui. "Lagian, mau sebaik apa pun kita, kalau orang itu nggak suka kita, kelar udah semua kebaikan kita. Nggak keliatan, yang keliatan cuma yang jeleknya doang,"
"Dan, oh ya, gue mau jadi orang jahat aja, biar nggak ada yang bisa lewatin batas." kata Calvin cepat.
"Gimana?"
"Beberapa orang nggak bisa menghargai kebaikan gue. Jadi kadang gue mikir, kayaknya mending jadi jahat aja biar orang-orang nggak bisa lewatin batas. Biar tau batasan. Mungkin sejak itu gue terlihat suka seneng-seneng doang, padahal mungkin itu cara gue aja biar nggak peduli sama orang lain. Capek kalau gue terus-terusan peduli sama komentar orang-orang, apalagi kalau komentarnya tanpa saran atau masukan."
Aku mengangguk, menatap Calvin dengan tulus. "Tapi lo jangan pernah bosen berbuat baik sama orang ya? Kalau ada yang minta bantuan dengan baik, lo boleh banget bantuin dia,"
Calvin terkekeh, tangannya bergerak lagi untuk mengacak rambutku. "Tenang aja, walaupun gue bilang mau jadi orang jahat, gue masih punya sisi kemanusiaan. Gue jahat saat tertentu doang, kalau mau aja."
"Iya, nggak apa-apa, asal jangan jahatin gue, ya?"
Calvin tertawa, suara tawanya perlahan memudar seiring dengan suara pengumuman di bioskop yang mulai terdengar.
Mohon perhatian Anda, pintu teater dua telah dibuka. Bagi Anda yang telah memiliki karcis, dipersilahkan untuk memasuki ruangan teater.
"Ayo?" Calvin berdiri dan menawarkan sebelah tangannya untuk aku genggam. Aku tersenyum dan tanpa ragu menerima tangannya dan merasakan jari-jari Calvin yang hangat dalam genggamanku.
Seperti yang Calvin bilang, ia menjadi orang baik versi dirinya sendiri.
Pun, dia menjadi orang yang baik bagi diriku sendiri.
---
A/N: Stray Kids mau comeback! Aaaaa tidak siap.
Changbiiiiin
tidak siap
dan tidak sabar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Batas
Fanfiction"Sebenarnya, baik sama buruk itu apa, sih? Dan, oh ya, gue mau jadi orang jahat aja, biar nggak ada yang bisa lewatin batas."