Calvin Antares dan warung kopi; dua hal yang sulit dipisahkan sejak pertama kali aku mendengar namanya.
Beberapa kali kalau kami bosan berkeliling kota, Calvin mengajakku ke warung kopi langganannya. Pernah ada yang aneh ketika aku mengajak Calvin minum kopi di warung kopi langganannya, ia langsung menolak. Aku kaget, padahal biasanya ia mau-mau saja kalau kuajak ke warung kopi langganannya. Aku meminta penjelasan, tapi Calvin cuma bilang bosan. Padahal aku paham sekali kalau di warung kopi itu ada banyak teman-temannya sejak dulu.
"Pasti ada alasan lain," kejarku.
"Hm?" Respon Calvin dengan tangan yang masih membalik buku menu. "Udah, minum di sini aja. Rasanya sama aja."
Aku berdecak, tidak ingin mendebatnya lebih lanjut. Namun setelah kami memesan menu, suara Calvin terdengar ke telingaku, "Gue lagi males ke sana, ada sepupunya Lucas."
"Hah?" Adalah respon yang keluar dari mulutku. Bingung. Aku tahu Lucas karena ia salah satu teman Calvin sekaligus barista di warung kopi langganannya. Tapi, apa hubungannya warung kopi dan sepupunya Lucas? Dan juga, sepupu Lucas yang mana?
"Kenapa?"
"Nggak tau, gue kesel aja kalau liat dia."
Aku tidak mengerti, meskipun pada akhirnya aku cuma mengangguk seadanya. Sampai akhirnya, beberapa minggu setelah kejadian itu, Calvin pulang ke rumah karena ada acara keluarga. Ditinggal Calvin pulang kampung menjadikanku lebih banyak sendiri, meskipun kadang beberapa kali aku bersama teman juga.
Pada suatu siang yang begitu panas di bulan September, aku bersama beberapa teman memutuskan untuk mampir ke warung kopi langganan Calvin. Kami memilih tempat itu karena suasananya yang enak untuk mengobrol cukup lama. Selain itu, menunya juga beragam dan terjangkau bagi mahasiswa. Saat kami sedang asyik memilih menu, terdengar suara yang familiar. Lucas.
"Hai, Kak!" Sapa temanku, disusul pula oleh sapaan riang dari Lucas.
"Oit, akhirnya kalian ke sini juga." kata Lucas.
Aku mengangkat bahu, tertawa. "Nggak ada yang bisa ngalahin tempat ini,"
Lucas ikut tertawa, kemudian ia menjentikkan jari seakan teringat sesuatu. "Ah, iya, waktu kalian jarang ke sini, Haidar nyariin lo."
Dahiku berkerut. Siapa?
Seakan mengerti kebingunganku, Lucas menjelaskan, "Haidar, sepupu gue, temen lo juga di komunitas menggambar."
Haidar... Komunitas menggambar...
Ah... aku ingat sekarang. Dia salah satu dari sekian orang di komunitas menggambar. Waktu itu aku hanya mengenalnya sebatas nama dan wajah dan kami jarang berinteraksi. Sampai akhirnya aku keluar dan aku masih belum begitu mengenalnya.
"Anjir, dia sepupu lo?" tanyaku antusias. "Dunia beneran sempit, ya."
Lucas mengangguk. "Haidar mau minta kontak lo, kasih jangan?"
"Ya kasih aja, emang kenapa?"
"Oh, gitu," Lucas mengangguk-angguk.
"Apaan?"
Lucas tersenyum lebar. "Soalnya Calvin larang gue ngasih nomor lo ke Haidar."
Alisku terangkat. "Gimana?"
Lucas terkekeh pelan. "Ya gitu, lo pasti paham."
Oh, aku pahan sekarang kenapa Calvin tidak mau lagi ke warung kopi langganannya.
Sesampainya di kos, aku menelepon Calvin dan menceritakan semua yang terjadi hari ini. Calvin cuma merespon seadanya saat kubilang tidak ada salahnya menyambung silaturahmi.
"Ya udah," kata Calvin di ujung sana, "Asalkan jangan keasyikan ngobrol, gue nggak masalah."
"Iya, iya," kataku gemas, paham arah pembicaraannya. "Tenang aja, gue nggak akan ngapa-ngapain. Lo percaya kan sama gue?"
Senyumku mengembang saat mendengar suara Calvin yang begitu menenangkan.
"Iya, gue percaya."
Beberapa detik setelahnya, Calvin menambahkan, "Kalau dia ngajak minum kopi berdua aja, jangan mau..."
"Gimana?"
"Jangan sering-sering minum kopi sama dia."
Aku terkekeh pelan, menganggukkan kepala. "Iya, iya, temen ngopi gue cuma lo doang."
---
Haidar, padahal cuma mau silaturahmi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Batas
Fanfiction"Sebenarnya, baik sama buruk itu apa, sih? Dan, oh ya, gue mau jadi orang jahat aja, biar nggak ada yang bisa lewatin batas."