"Mau ke mana kita hari ini?"
Pertanyaan Calvin langsung memasuki telinga ketika aku bahkan baru beberapa detik duduk di dalam mobilnya.
"Gue kan udah bilang, bebas."
Calvin menggelengkan kepala. "Nggak, bebas sama artinya dengan terserah. Gue nggak mau denger jawaban itu."
Aku mengerucutkan bibir sambil terus memikirkan apa yang sebaiknya kami lakukan. Sebenarnya sampai detik ini, aku masih tidak percaya kalau kami berpacaran. Rasanya... entahlah, seperti dalam mimpi. Kadang aku takut kalau ini semua hanya mimpi. Tapi begitu kulihat Calvin benar-benar di sebelahku dan menatapku, bagian diriku percaya kalau ini bukan mimpi. Bagaimana ini mimpi jika wajah Calvin yang kesal itu bisa begitu jelas terlihat?
"Kita tuh sering banget gini, Sip," katanya memulai. "Coba sekali-kali kita kayak pasangan lain."
"Contohnya?"
"Ya..." Calvin mengerutkan dahi, kemudian kudengar suaranya agak ragu, "Gitu..."
Aku terkekeh pelan. Gemas rasanya melihat Calvin begitu. Antara aku dan Calvin memang tidak terlalu banyak yang berubah. Tidak ada panggilan kesayangan seperti pasangan lainnya karena Calvin bingung ingin memanggilku apa. Jadilah ia tetap memanggilku Sipa. Aku pun bingung. Kadang-kadang aku ingin memanggilnya Kak Calvin, tapi ia tidak suka dengan panggilan itu. Selain itu, kita berdua tidak terbiasa menunjukkan perhatian di depan publik. Kalau kata temanku, kita berdua terlalu kaku, tidak terlihat seperti orang yang pacaran.
Tapi, apakah orang yang menyayangi satu sama lain harus terus menunjukkannya di depan publik? Sepertinya tidak perlu. Bagiku, Calvin mengetahui aku sayang padanya sudah cukup.
"Ya udah, mau nonton?" kataku akhirnya.
Calvin terdiam sebentar, sebelum akhirnya menggeleng. "Weekend. Mahal. Hari biasa aja kalau mau nonton."
"Ya udahlah, Cal, kayak biasa aja." kataku menyerah.
Calvin menatapku lama, membuatku ikut menatapnya juga. Sebelah alisku terangkat, bingung karena Calvin tidak bicara apa-apa. "Kenapa?"
"Siniin tangannya."
"Hah?"
"Sini." Calvin mengulurkan sebelah tangannya, sementara aku masih bengong.
Tak lama, Calvin berdecak dan mengambil sebelah tanganku, membuatku kaget.
"Lama." katanya pelan.
Aku tidak mengerti, tapi tanganku ikut mengenggam tangan Calvin erat. Ia mengenggam sebelah tanganku dan matanya menatapku. Aku mengerjapkan mata, bingung sekaligus malu.
"Kenapa..."
"Lo nggak marah kan kalau kita selalu gitu?"
"Maksudnya?"
"Ya..." Calvin memandangi jalan di depan, tapi tangannya masih tetap menggenggam tanganku. "Keliling kota, drive thru, ngobrol, denger lagu..."
Aku tersenyum, kemudian menggerakkan genggaman hingga Calvin menolehkan kepala ke arahku. "Hei, nggak apa-apa. Kalau kita sendiri nyaman, kenapa mikirin orang lain?"
"Kata Ino, gue nggak bisa romantis."
Aku terkekeh pelan, membayangkan bagaimana menyebalkannya Kirino mengejek Calvin. "Lah, Bang Kirino aja didengerin. Biarin aja. Lagian lo romantis dengan cara lo sendiri dan gue paham."
"Bener?"
Aku mengangguk dan menggerakkan lagi tangannya yang ada di genggamanku. "Mana nih Calvin yang dulu bilang 'hidup lo, cuma lo sendiri yang paham' ke gue?"
Calvin tertawa, kemudian ia melepas genggaman tangan dan mengacak rambutku pelan. "Ya udah, abis ini kita drive thru ya, terus keliling sambil ngobrol, abis itu kita nonton, deh."
Aku mengerutkan dahi. "Lho, katanya mahal?"
"Nggak jadi. Beli kopi tiap hari aja mampu masa beli tiket film weekend nggak mampu."
Aku tertawa pelan, terserah Calvin mau bagaimana hari.
"Cal, kita makan di tempat aja yuk, jangan drive thru?" usulku.
"Kenapa?"
"Biar ngobrolnya lama."
Calvin terdiam selama beberapa detik, kemudian ia menggelengkan kepala. Setelah kutanyakan alasannya, ia malah mengenggam tanganku lagi.
"Nggak bisa gini lama-lama kalau di luar."
"Katanya mau kayak pasangan lain?"
"Nggak jadi."

KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Batas
Fanfic"Sebenarnya, baik sama buruk itu apa, sih? Dan, oh ya, gue mau jadi orang jahat aja, biar nggak ada yang bisa lewatin batas."