Belakangan, aku merasa ada yang aneh dengan Calvin. Entah aku yang kelewat sensitif atau apa, tapi Calvin sering sekali tidak menanggapi ajakanku bertemu. Dia sibuk ini, sibuk itu, harus mengurus A, mengurus B.
Beberapa bulan menjadi pacarnya membuatku tahu kalau aku tidak begitu mengenal dirinya.
Ia terlihat seperti mahasiswa mageran karena kerjanya seusai kuliah hanya mampir ke warung kopi, tapi ternyata, Calvin memiliki banyak aktivitas yang tidak aku ketahui.
Calvin, dia termasuk orang yang jarang bercerita. Seperti hari ini, Calvin bilang ia tidak bisa lama-lama bertemu denganku karena dia harus bertemu dengan Bayu dan Felix. Sampai detik ini, Calvin tidak pernah mau memberitahuku urusan apa yang mengharuskan ia bertemu dengan kedua temannya itu.
"Pusing banget gue, Sip, banyak yang harus diurus," katanya dengan mata yang masih sibuk membaca kertas-kertas di tangannya.
Aku tidak mengerti. Mataku tak henti-hentinya melihat raut wajah Calvin yang terlihat pusing itu. Aku mengulurkan tangan untuk mengecilkan volume radio mobil dan mulai berujar pelan, "Kalau kakak butuh temen cerita—"
"Iya, sayang,"
"Aku serius!"
Calvin mengerjap begitu aku sedikit menaikkan nada suara. Ia mengangkat kepalanya dan menatapku. Setelahnya aku malah mengigit bagian dalam bibirku. Aku mengerjapkan mata, menahan air mata yang siap keluar.
"Hey, are you okay?"
Aku menggelengkan kepala dan membuang pandangan ke luar. Mati-matian aku menahan tangis dan seketika runtuh saat Calvin menyentuh pundaku pelan. Ia membalikkan badanku untuk menghadapnya dan bertanya sekali lagi, "Kenapa?"
Aku menutup wajahku dengan telapak tangan. Kepalaku menggeleng kuat saat Calvin berusaha melepas tanganku.
"Hei... Gue salah, ya?" ucap Calvin pelan, masih berusaha melepaskan tanganku yang menutupi wajah. "Jangan nangis..."
Tangisku malah semakin keras. Tubuhku bergetar dan gelenganku semakin cepat saat Calvin berusaha melepaskan tanganku. Sekarang ia malah menarikku mendekat. Ia menarik tubuhku ke pelukannya dan tangannya bergerak mengelus rambutku dengan lembut.
"Maaf, ya..."
Dalam pelukannya, aku menganggukkan kepala. Aku tak bisa berkata apa-apa, tapi setidaknya tubuhku sudah tidak bergetar seperti sebelumnya.
Calvin berkali-kali mengelus rambutku pelan dan mengucapkan permintaan maaf.
Entah berapa lama aku menangis sampai akhirnya aku bisa melepaskan pelukan Calvin dan menghela napas panjang.
"Maaf, kak, aku cuma merasa insecure karena aku nggak tau apa-apa soal kakak. Kakak nggak pernah cerita kegiatan apa yang kakak lakuin sama Kak Bayu, sama Felix, atau sama temen sekelas kakak," ujarku perlahan.
Iya, aku merasa tidak percaya diri. Aku jadi merasa apa ya... Apakah aku cukup dipercaya oleh Calvin? Kenapa ia jarang bercerita padaku? Padahal aku bilang berkali-kali kalau Calvin boleh bercerita padaku.
Calvin mengangguk paham. "Maaf ya, gue nggak maksud begitu,"
"Kakak tau nggak, bahkan ada yang bilang kalau gue pacar bohongan lo doang?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Batas
Fanfictie"Sebenarnya, baik sama buruk itu apa, sih? Dan, oh ya, gue mau jadi orang jahat aja, biar nggak ada yang bisa lewatin batas."