Bab 6

155 37 1
                                    


         "Ko, setelah syuting gue selesai, lo boleh pulang. " pesan Alex sebelum keluar mobil. Ya, tugas sopir hanya mengantar bosnya ke tempat tujuan, menunggu dengan bosan sampai selesai lalu pulang.
Berhubung sekarang sudah siang, Aiko merasa cacing dalam perutnya meronta minta jatah. Lapar.
Seperti yang dilakukan Alex sebelumnya, niat ingin menunggu di mobil Aiko urungkan. Dia memilih keluar untuk cari makan dan sholat.
Untuk pertama kali, sholat di kota orang setelah hampir satu minggu libur karena diberi jatah bulanan.

Ini dia masalah yang Aiko katakan akan datang silih berganti. Identitasnya sebagai perempuan akan terbuka jika sholat menggunakan mukena di depan orang-orang yang sebelumnya melihatnya berpenampilan seperti laki-laki.

Aiko harus memutar otak. Bukan dibalik, tapi berpikir.
Akhirnya sebuah ide terlintas. Aiko memandang di sekeliling, mencari tempat yang bisa digunakan untuk mengubah kembali ke penampilan aslinya.
Aiko berjalan ke belakang gedung tinggi yang tidak dilalui orang-orang.
Dia rasa di sana ada ruangan yang bisa digunakan.
Aiko mengendap seperti maling yang memindai tempat memastikan keamanan. Oke, clear.

Setelah masuk, Aiko membuka kemeja yang dia kenakan meninggalkan kaus biru dongker, lalu dengan susah payah mengendurkan kain yang membebat dadanya . Selanjutnya, Aiko melepas kacamata dan menghapus bintik hitam di atas bibir.

Selesai, Aiko si tomboy telah kembali. Jika begini kan orang-orang tidak akan salah paham lagi.

Aiko melipat kemeja itu sekecil mungkin, lalu mencari tempat untuk menyimpannya. Setelah itu, dia keluar dengan cara seperti saat masuk. Mengendap-endap.

Aiko mulai melakukan apa yang menjadi tujuannya. Sholat dan makan siang. Dua hal itu tidak akan menghabiskan waktu berjam-jam seperti syuting yang dilakukan Alex.

Alex pasti menikmati profesi yang membuatnya menjadi orang terkenal, digilai banyak perempuan di luar sana, dan nama yang selalu dielu-elukan. Pikir Aiko.
Benar kan, kalau tidak, dia pasti lebih memilih profesi lain daripada berkecimpung di dunia keartisan.
Aiko jadi ingat pada teman-teman sebayanya yang begitu menggilai artis Indonesia,termasuk Alex.
Sejak Alex memulai kariernya,mereka seolah daftar jadi fans garis keras. Mengaku sebagai pacar lah, istri lah. Tingkat kehaluan yang cukup tinggi.
Sedang Aiko, dia sadar betul jika dunia nyata lebih penting daripada menghayal yang tidak tidak.

"Neng, pesan apa? " seorang ibu bertanya pada Aiko saat dia masuk dan berdiri di depan etalase yang dipenuhi bermacam lauk . Aiko baru saja menyelesaikan sholatnya. Saat melihat daerah di sekelilingnya, tempat makan ini menjadi tujuan.

"Nasi ikan aja, Bu. Minumnya teh tawar hangat! " ucapnya memesan. Aiko mengambil duduk di kursi panjang yang cukup dihuni 3 sampai 4 orang.
Aiko kira, cuma di kampung saja ada warung makan seperti ini.
Pondokan sederhana yang cuma beratapkan seng berkarat dengan dinding yang tidak sempurna.
Lauk pauk tertata rapi di dalam etalase yang cuma ditutupi dengan kain gorden yang warnanya sudah pudar.

"Ini Neng. Silakan dimakan! " seseorang  memberikan satu piring nasi beserta lauk yang Aiko pesan tadi dilengkapi satu gelas teh yang warnanya tidak begitu pekat berdiri di samping piring. Aiko baru sadar, dua orang yang berinteraksi dengannya memanggil dengan sebutan Neng. Lega sudah hatinya.

"Terima kasih! " balas Aiko.

Tanpa membuang waktu, Aiko segera melahap nasi yang membuat perut dan matanya lapar itu. Makanan sederhana akan terasa nikmat jika dimakan dalam keadaan hangat dan tentu saja saat lapar.

Setelah selesai, Aiko meneguk habis teh tawar yang tersisa setengah. Seingat Aiko, ayahnya pernah mengatakan bahwa teh tawar cukup baik bagi tubuh.
Selain menyehatkan jantung dan menormalkan kadar gula karena diseduh tanpa gula, teh tawar juga bisa merilekskan tubuh.
Aiko pun berharap efek teh tawar ini mampu membuatnya rileks saat kembali bertemu Alex.

❄❄❄❄

Lebih tiga jam sudah Aiko menunggu. Dia bingung harus melakukan apalagi selain memperhatikan orang berlalu lalang silih berganti melakukan aktifitas keseharian mereka. Kantuk bahkan menyerang minta dilawan. Mengutak atik handphone pun rasanya tidak ada yang menarik. Mengirim pesan pada Lili tidak mendapat respon apapun. Bisa jadi adik kesayangannya itu sedang tidak punya pulsa.
Jadul sekali memang. Jika dilihat,  di era jaman sekarang, bisa dicek pada menu pesan di tiap ponsel anak muda, mungkin sebagian besar pesan yang masuk dikirim dari sebuah provider dengan berisikan sebuah info promo telepon murah atau paket harian sampai bulanan. Mana ada lagi orang bertukar pesan lewat sms.
Pulsa yang mereka isi tentu akan dipakai untuk menelpon, atau membeli paket internet. Sedangkan untuk bertukar pesan, mereka akan menggunakan aplikasi chat.

Ponsel Aiko berdering,
Bos memanggil

"Hallo, bos. " sapa Aiko pada Alex.

"Gue udah mau keluar. Lewat jalan belakang ya. Banyak wartawan. "

Aiko menatap sekeliling mencari jalan yang dimaksud Alex.

"Dimana ya bos? "

"Aduh, lo tanya aja sama petugas di sana. Buruan."

"Iya iya. "

Aiko segera menstarter mobilnya lalu menginjak pedal gas setelah memasukkan gigi.

•••

"Bos, itu wartawan kok pada ngejar-ngejar bos gitu? "  pertanyaan Aiko membuat Alex menoleh, "Lo gak tau gosip terbaru soal gue? " tanyanya heran.
Aiko menggeleng, "Saya gak seupdate itu, bos. Gak tau soal gosip! "

"Di kampung, selain nyupirin angkot, ngapain aja? " tanya Alex merasa tak terima. Pikirnya, tidak mungkin berita cukup heboh itu tidak diketahui banyak orang, termasuk Iko. Sopir barunya ini.

"Gak ngapa-ngapain sih, paling nonton TV. "
"Terus kenapa bisa gak tau? " tanyanya.

"Emang mesti tau bos? "
Alex terdiam, beberapa detik kemudian dia kembali bertanya.
"Lo berapa saudara? "

"Hah? Eh, tiga. Aiko sama Lili. " kaget Aiko karena tiba-tiba Alex mengubah topik. Pertanyaannya saja belum dijawab.
"Orangtua lengkap? " selidik Alex lagi.

"Tinggal Ayah. Ibu sudah meninggal waktu saya SD. " jujur Aiko.

"Oh, sorry. " ucap Alex tak enak. Alex mengubah posisi duduknya lebih tegap.
"Gak papa bos. Santai aja. "

"Hmm,,, jadi lo itu kembar? Terus kembaran lo kerja di mana? "
Interogasi yang Alex lakukan membuat Aiko menjadi tegang kembali .
Aiko mulai menanyakan kemana khasiat teh tawar yang katanya bisa merilekskan tubuh itu?
Atau air teh yang Aiko minum kurang banyak sehingga tidak berpengaruh untuknya.
Sepertinya Aiko butuh ponsel untuk merekam obrolan hari ini. Jaga jaga jika suatu saat nanti diberi pertanyaan yang sama, Aiko akan memberikan jawaban yang sama pula seperti sekarang.

"Lah, dia bengong. Kembaran lo kerja di mana? "

"Oh, dia dia jadi SPG, bos. " Aiko membalas asal. Hanya profesi itu yang ada di otaknya.

"Oke,," Alex mengangguk paham. Dan dari wajahnya, Alex terlihat percaya.

"Adek lo yang satunya masih sekolah? "

"Alhamdulillah udah kelas 12. "

"Sama kayak Ally dong, adek gue. "

"Iya, bos. "

"Ayah lo masih kerja? "

"Udah hampir satu bulan gak kerja lagi karena kecelakaan. "

"Kecelakaan? " kaget Alex.
"Iya. Jadi saya ikut bantu cari uang. Lili juga butuh pendidikan. Saya gak mau Lili jadi kayak saya. "

"Saya mau Lili bisa kuliah, dapet kerjaan yang bagus , jadi orang sukses. Bukan kayak saya gini. " jelas Aiko.

"Seenggaknya, ayah punya anak yang bisa dia banggakan. " lanjut Aiko.

Alex merenungi kalimat terakhir Aiko.
"Membuat ayah bangga"

Sopirnya bekerja keras membantu keluarga untuk mewujudkan impian agar orangtua mereka bangga. Sedang dirinya dengan segala fasilitas nyaris lengkap belum ada niatan untuk membanggakan Papinya.
Untuk profesi yang dia jalani saja, belum tentu bisa membuat Papinya bangga.

"Bos, kita pulang ke apartemen, kan? "

"Ya. "

Tbc












Am I Normal?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang