NINETEEN

5.3K 765 76
                                    

Satu hal yang ada di dalam pikiranku saat aku melihat Jimin adalah, amarah. Jimin menyenderkan bokongnya di atas motornya. Kedua tangan lelaki itu ia lipat di depan dada dan keningnya mengerut. Wajahnya tampak masam dan hal itu membuatku merinding.

Aku tahu kesalahanku. Kesalahan yang sangat fatal.

Jimin benar-benar terlihat marah sekarang.

Aku memberikan senyumanku ke arah lelaki itu, dan wajahku memperlihatkan ekspresi polos tanpa bersalahku, tapi tampaknya Jimin masih marah akan hal itu.

"Hi Jim. Aku lebih awal pagi ini, kan?" tanyaku berbasa-basi. Senyuman masih menghiasi wajahku dan Jimin belum kunjung tersenyum. Yang ada, cemberut di wajah Jimin semakin terlihat.

"Kemana saja kau semalam?" tanyanya dengan dingin.

"Hmm ... rumah Taehyung ...?" Aku mengecilkan suaraku karena aku tahu, Jimin tidak akan suka. Jika di dunia ini ada penghargaan 'lelaki tercemburu se-dunia', aku yakin Jimin akan memenangkannya selama satu dekade berturut-turut.

"Apa yang kau lalukan di sana?" Nada bicara Jimin benar-benar ketus. Ini bahkan terdengar seperti interogasi antara narapidana dan polisi.

"Mengerjakan tugas tentunya."

Jimin menaikkan sebelah alisnya, tidak percaya. "Hanya itu?"

Aku menganggukkan kepalaku. "Hanya itu."

"Apa kau sedang mencoba untuk berbohong?"

Aku berdecak sambil memutar bola mataku kesal. "Demi Tuhan, aku tidak melakukan apapun selain mengerjakan tugas, Park Jimin."

"Lalu kenapa kau mengabaikan pesanku?"

"Itu karena aku tidak mengaktifkan nada deringnya."

"Tapi setidaknya kau bisa mengirimiku pesan sebelum tidur."

"Aku kelelahan, jadi aku tidak terpikirkan untuk mengirimimu pesan."

Jimin menghela napasnya. Setelah aku mengatakan itu, ia terlihat tersakiti, dan hal itu membuatku merasa bersalah. Jimin membuang mukanya, menatap ke arah aspal di bawahnya.

"Padahal aku menunggumu semalaman," ujar lelaki itu dengan suara yang sangat kecil namun bisa kudengar dengan sangat jelas. Rasa bersalah ini semakin tumbuh di dalam hatiku.

Dibandingkan dengan Jimin, aku adalah tipe orang yang sangat sulit untuk mengekspresikan perasaanku. Sedangkan Jimin adalah tipe orang yang akan mengucapkan semua yang ia rasakan secara blak-blakan. Jimin bahkan tak pernah henti mengucapkan betapa ia menyukaiku, menyukai setiap inci tubuhku, dan membuatku merasa sebagai ratu di matanya. Selain itu, Jimin juga tidak pernah lupa untuk mengirimiku pesan saat ia memiliki kesempatan.

Sedangkan aku?

Aku jarang memulai percakapan jika bukan Jimin yang memulai. Aku juga tidak pernah berpikir untuk mengiriminya pesan duluan.  Aku terkadang berpikir. Apakah karena aku tidak pernah berpacaran jadinya aku tidak terbiasa dengan 'ritual' mengirimi pesan sebelum tidur atau di sela-sela kegiatan? Aku terlalu terbiasa untuk hidup sendiri sampai-sampai aku terkadang melupakan hubunganku dengan Jimin.

Oke, katakanlah aku gadis yang bodoh. Aku mengakuinya.

Ini bukan berarti aku tidak menyukai Jimin, hanya saja ini semua masih terasa belum nyata. Seorang gadis bertampang kentang ini ternyata adalah pacar dari seorang Park Jimin yang menjadi school's heartthrob.

Terkadang aku merasa menjadi gadis yang kejam. Jelas-jelas Jimin memberikan seluruh perhatiannya kepadaku, tapi entah kenapa sulit bagiku untuk membalasnya. Aku jadinya terkesan egois dan hanya memikirkan tentang diriku sendiri saja. Padahal tidak seperti itu. Hanya saja ... masih sulit bagiku untuk membuka seluruh isi hatiku ke Jimin.

Somersault; pjmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang