18. Maaf

360 45 1
                                    

Lena begitu gugup melangkahkan kaki ke pintu gerbang rumah mantan kekasihnya itu. Rasanya  begitu asing. Mungkin karna ia sudah begitu lama tak menginjakan kaki di sana. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Lena menekan tombol bel yang terpasang di samping pintu gerbang. Tangannya memainkan ujung bajunya, menandakan ia begitu cemas menanti gerbang yang tak kunjung terbuka.

Satu menit kemudian, tampak adik John, Mila membukakan pintu untuknya. Gadis remaja itu tampak tersenyum manis menyambut kehadirannya. Senyum yang cukup manis, hingga Lena bisa sedikit lebih santai. "Eh, Kak Lena! Kemana aja selama ini! Aku kangen tau," ucap Mila sambil merangkul lengannya.

"Kamu sehat? Gimana sekolahnya?" tanya Lena berbasa-basi.

"Sehat kak. Sekolah? Gitu-gitu aja sih. Kakak mau ketemu sama Bang John ya? Dia ada tuh. Lagi di kamarnya. Kakak masuk aja yuk," ajak Mila.

Lena langsung menggelengkan kepalanya. "Aku nunggu di sini aja ya, Mil. Gak lama soalnya. Abis ini ada janji lain soalnya. Bisa suruh John keluar aja gak?"

Mila tampak heran dengan permintaan Lena, tapi tetap menuruti permintaannya tanpa banyak kata. "Ehm... yaudah deh. Kakak tunggu sini ya. Aku panggilin Bang John."

Lena menjawab dengan sebuah anggukan dan senyuman. Setelah itu Mila tampak berjalan kembali ke rumahnya, sementara Lena menungu di luar. Ketika Mila sudah tak terlihat lagi dari pandangannya, tiba-tiba tetesan air dari langit jatuh dan membasahi tubuhnya secara perlahan. 

Lena yang tak menemukan tempat berteduh, akhirnya hanya bisa tetap berdiri di sana dengan pasrah. Ia sudah menginjakan kaki di sana dan tak mungkin berbalik lagi. Ia membiarkan rintikan hujan membasahi tubuhnya dan berusaha tetap teguh berdiri meski dinginnya udara begitu menusuk tulangnya.

Lena sudah menunggu selama lima menit. Namun itu terasa begitu lama, karena hujan begitu deras membasahi tubuhnya. Ia berusaha menahan gemeretak giginya dan mengepalkan tangannya, berusaha menahan dinginnya air yang terus menerus menusuk raganya. Lena akhirnya menghela nafas lega ketika melihat sosok John yang sedang berjalan menghampirinya sambil memegang payung.

"Ya ampun Lena! Kamu kenapa hujan-hujanan sih! Kan, bisa masuk ke dalem aja. Ngapain nunggu di sini. Ayo masuk." John langsung menarik tangan Lena, hendak menyuruhnya masuk.

Namun Lena tak beranjak dan tetap berdiri di sana. "Aku gak mau ngomong di dalam. Ada hal yang mau aku omongin ke kamu, tapi gak bisa di rumah. Nanti keluarga kamu denger. Di sini aja," ucap Lena dengan bibir bergetar kedinginan.

"Gak ada kita ngomong di sini. Kamu udah menggigil kedinginan begini. Mending kita neduh dulu di sana." John menunjuk ke arah sebuah taman yang ada pondok untuk berteduh.

 "Ya udah di sana aja."

"Sini... masuk ke payung aku." John menarik Lena untuk mendekat ke arahnya, sehingga satu payung itu muat untuk melindungi mereka berdua dari rintikan hujan.

Mereka akhirnya berjalan menuju taman dengan langkah pelan. Jalanan yang basah dan derasnya hujan membuat mereka lebih berhati-hati untuk melangkah. Setelah sampai, Lena langsung duduk dan berusaha untuk terlihat nyaman dengan busana yang telah basah kuyup. 

"Kamu gak ke dinginan?" tanya John dengan tatapan khawatir.

"Dingin sih. Cuma aku tahan aja," jawab Lena.

"Ya udah, mau ngomong apa? Kayaknya penting banget, sampe kamu rela hujan-hujanan begini."

Lena terdiam beberapa saat. Ia mengumpulkan keberanian untuk mulai berkata. Setelah memantapkan hati, ia mulai menatap John dengan lekat. "Kata Tasya... di hari orang tuaku wafat, kamu kena api petasan dan akhirnya kena luka bakar?"

John tampak terkejut mendengar pertanyaan Lena.  "Ehm... iya," jawab John.

"Kenapa gak cerita?"

"Ehm... aku gak tega buat cerita. Masalah kamu udah cukup berat, aku cuma gak mau bikin kamu cemas."

Lena tertunduk dan terdiam beberapa saat. Kemudian ia mencoba untuk melanjutkan pertanyaannya. "Kenapa kamu waktu itu jarang balas chat dan angkat telpon aku? Kenapa gak pernah temuin aku?"

"Butuh waktu beberapa bulan buat luka bakarku bener-bener sembuh. AKu juga operasi plastik di deket mata, buat hilangin bekasnya. Makanya aku jarang megang HP. Aku gak tega ceritain itu ke kamu waktu itu.  Aku gak bisa temenin kamu saat berduka, setidaknya aku juga harusnya gak bikin kamu khawatir. Jadi aku milih diem," ujar John.

Lena memejamkan matanya. Ia mencoba mengatur emosinya yang campur aduk, supaya tetap tenang. Masih ada satu pertanyaan yang harus ia ajukan pada mantan kekasihnya itu. "Kenapa kamu cuma jawab 'oke' pas aku minta putus? Kenapa kamu gak tahan aku?"

"Saat itu aku ngerasa gak layak buat jadi pacar kamu. Aku gak ada di saat hari-hari sedih kamu. Aku gak bisa hadir disaaat kamu minta untuk temenin. Aku juga gak ngucapin kalimat penghiburan ketika kamu lagi berduka. Atas dasar apa aku pantas minta kamu tetap di samping aku? Dan... aku juga paham kenapa kamu minta putus, meski kamu gak bilang," ucap John dengan tatapan sedih.

Lena tertunduk... ia terdiam... memejamkan matanya dan perlahan air mata mulai menetes keluar.

"Maaf..."

Lena mengucapkan kata itu dengan tangisan dan isakan yang tertahan. Ia tak sanggup menatap John dan memilih tetap menunduk.

CONTINUED

CONTINUED

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
I Think... ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang