TAEYONG memanggilnya.
"Haechan-ssi, tolong maju ke depan," pintanya dengan nada bangga yang tersirat. "Tolong jawab pertanyaan nomor lima belas sebelum pelajaran hari ini berakhir."
Tiba-tiba saja wajahnya memucat. Peluh kembali membasahi pelipisnya walau suhu di dalam ruangan terbilang cukup rendah. Tangannya gemetaran—persis seperti apa yang terjadi saat ia mengambil tanda pengenalnya pagi hari tadi.
Bukan.
Penyebabnya bukanlah sosok Mark yang kebetulan duduk di sampingnya.
Hanya saja, ia ragu menjawab pertanyaan tersebut. Materi yang belum benar-benar ia kuasai walau sudah mati-matian belajar hingga berhasil lolos ke tingkat nasional.
Satu-satunya materi yang sampai sekarang belum ia kuasai.
"Haechan-ssi?" Taeyong kembali memanggil namanya. Sontak beberapa peserta menoleh ke belakang guna mendapati Haechan yang gemetaran dan pemuda di sebelahnya yang sama sekali tidak berniat untuk membantu.
Pemandangan yang cukup menarik bagi segelintir orang.
"Haechan-ssi?" Panggilan yang sama kembali terdengar dan sosok yang terpanggil sama sekali tidak bergerak dari kursinya.
Pertanyaan ini.
Mau tidak mau, Haechan harus mengakui jika soal legendaris mengenai awak kapal yang begini dan begitu adalah kelamahannya selama lebih dari satu bulan mempersiapkan diri secara sparta untuk mengikuti olimpiade fisika tingkat nasional.
Beruntung dua sub-nomor pertama dari soal ini telah dijawab oleh Chenle dan salah seorang peserta lainnya. Yang tersisa hanyalah sub-nomor tiga. Sebenarnya, soal ini memiliki enam sub-nomor di dalam lembar latihan yang diberikan secara cuma-cuma oleh panitia pelaksana. Tetapi, entah angin apa yang merasuki Taeyong sehingga pria tersebut memutuskan untuk mengakhiri pelajaran lebih cepat dengan membahas sub-nomor ke-tiga dari soal mengenai awak kapal tersebut.
"Shh."
Haechan dapat mendengar jika Mark memanggilnya setengah berbisik.
"Sudah, maju saja."
Renjun yang duduk tepat di sebelah meja milik Mark dan Haechan tidak sengaja mendengar kalimat tersebut. Tiba-tiba saja darahnya memanas—sudah tahu mengenai apa yang selanjutnya akan terjadi. Sedikit cemas, ia berharap jika Haechan mampu bertahan.
Sementara itu, pemuda tan tersebut justru menoleh ke arah sosok yang berbisik.
"Kau berbicara pada ku?" Tanyanya. Tampak bodoh dan dungu di mata Mark yang kini memutar kedua bola matanya atas jawaban lugu yang tidak ia inginkan tersebut.
"Tidak. Dengan tembok di belakangmu."
Ucapannya berhasil membuat Haechan terkekeh pelan. Sadar tidak sadar, pemuda itu menjadi semakin tenang—tidak tegang seperti sebelum-sebelumnya.
"Sudahlah," Mark berdecak. "Lebih baik kau maju saja ke depan."
Haechan tidak menjawab, hanya terkekeh dan membiarkan Mark melanjutkan kalimat berikutnya.
"Lebih baik maju—"
Pemuda yang lebih tua menyeringai sinis.
"—Karena sekeras apapun kau memikirkan jawabannya, kau tidak akan pernah menang melawan ku."
Benar-benar, deh.
Telinga Renjun yang mendengarnya sedari tadi kini memanas. Ingin rasanya pemuda itu memberi pelajaran hidup kepada sosok yang kini kembali menyombongkan dirinya di hadapan Haechan tersebut. Ia tidak ingin menerima laporan jika seseorang lagi-lagi menangis akibat Mark Lee yang menginjak harga diri mereka.
YOU ARE READING
Too Kind • Markhyuck ✓
FanfictionHaechan was just too kind for a competitor like Mark. © Rayevanth, 2019