HANYA beberapa jam tersisa bagi para peserta untuk mempersiapkan diri mereka demi mengikuti olimpiade.
Tidak heran jika ketua panitia pelaksana mengadakan pertemuan kembali di dalam sebuah ruangan yang cukup besar untuk menampung lebih dari seratus peserta olimpiade yang mengikuti ajang tersebut.
Sesi terakhir—dapat dibilang seperti itu.
"Selamat siang," ucapnya dengan tampang berseri menyertai eksistensinya di atas panggung. Suaranya sedikit lebih lantang ketimbang sebelumnya guna mendapatkan lebih banyak atensi dari para peserta yang akan mengikuti olimpiade di keesokan hari.
Tetapi, nihil.
Para peserta itu sibuk dengan kondisinya masing-masing sehingga tidak begitu menaruh peduli pada pihak yang berbicara di atas panggung.
"Selamat siang," katanya, percobaan ke-dua. Namun, lagi-lagi gagal.
"Selamat siang, anak-anak!"
NGIIIIIIIIIIING.
Akibat mengeluarkan suara yang terlalu besar, mikrofon yang ia gunakan pun berdenging dan mengeluarkan suara yang sangat bising sehingga para peserta berhenti melakukan aktivitas mereka dan memberikan atensi penuh kepada si ketua panitia pelaksanaan yang menatap sebal ke arah para murid sekolah menengah di hadapannya.
Kemudian, hening menguasai atmosfer di dalam ruangan—sebelum pada akhirnya pria di atas panggung tersebut melontarkan sebuah kalimat peringatan.
"Mohon didengarkan baik-baik," katanya. "Ini adalah sesi terakhir kita. Besok adalah hari pelaksanaan olimpiade dan Minggu adalah hari terakhir kita menginap di hotel ini. Karena itu, ada beberapa pengumuman yang harus diperhatikan dengan saksama."
Haechan yang kebetulan duduk bersebelahan dengan Chenle hanya terdiam. Kegugupan semakin merajai dirinya sendiri sehingga peluh tidak dapat berhenti mengalir di pelipisnya.
Ia tidak akan berbohong—Haechan benar-benar kehilangan kepercayaan dirinya.
Menyadari jika ia bukanlah satu-satunya sosok yang disebut orang sebagai pemuda pintar di tempatnya menetap selama seminggu ini, semangat Haechan menjadi semakin turun. Entahlah. Ia menjadi sosok yang pesimis dan takut akan kekalahan.
Beban itu berada di pundaknya.
Jika ia kalah, maka ia akan membuat kedua orangtuanya dan pihak sekolah merasa kecewa. Apalagi Taeyong yang telah berusaha keras mengajarinya materi-materi ilmu fisika lanjutan dari kelas sepuluh hingga kelas dua belas dalam kurun waktu yang relatif singkat.
Ia pasti akan merasa sangat kecewa.
"Hei," tiba-tiba saja sebuah tepukan dapat ia rasakan. "Kau baik?"
Haechan tersenyum samar. "Iya—"
"Tahun ini sedikit berbeda."
Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, perkataan Haechan kini terputus oleh suara lantang milik sang ketua panitia pelaksana.
"Tahun sebelumnya, olimpiade hanya dilakukan dalam satu sesi—jenis olimpiade fisika pada umumnya," beliau menerangkan. "Tetapi, tahun ini berbeda karena kami menambahkan sebuah sesi lagi."
YOU ARE READING
Too Kind • Markhyuck ✓
FanfictionHaechan was just too kind for a competitor like Mark. © Rayevanth, 2019