"SELAMAT berkencan, noona!"
Haechan berseru kepada wanita yang kini melambaikan tangannya sebelum sosok itu beranjak keluar dari kediamannya bersama seorang lelaki bertubuh besar di sebelahnya yang Haechan yakini sebagai kekasihnya.
Pada akhirnya, Rose lebih memilih untuk mengenakan sebuah gaun putih dengan aksen bunga di setiap sudutnya. Terkesan sederhana, tetapi bila dipadukan dengan sepatu berhak tinggi berwarna hitam dapat memberi kesan elegan kepada setiap pasang mata yang menyorotnya. Padahal, gaun itu tidak ada di opsi pilihan yang wanita itu sodorkan kepada Haechan beberapa saat yang lalu ketika ia meminta bantuan pemuda itu untuk membantunya memilih pakaian untuk berkencan.
Setelah wanita bersurai cokelat itu hilang sepenuhnya dari pandangannya, Haechan segera memutar tubuh dan berjalan menuju ruang tamu. Ia ingin sedikit membantu pekerjaan para petugas kebersihan dengan mengambil cangkir-cangkir yang sudah kotor dan menaruhnya di atas mesin pencuci.
Dimanapun ia berada, Haechan selalu memegang prinsip untuk berbuat baik.
Lagi-lagi, tindakannya itu membuat beberapa petugas kebersihan menyerukan namanya dan segera membantu pemuda itu untuk membawa para cangkir.
"Tuan Haechan, Tuan Haechan!" Seru mereka. "Cangkirnya kami saja yang membawa. Anda tinggal duduk diam-"
Belum sempat pemuda itu membantah ucapan mereka, para petugas kebersihan itu sudah mengambil cangkir-cangkir yang berada di tangan Haechan dan memindahkannya ke atas nampan sebelum menaruhnya di atas mesin pencuci piring otomatis.
Haechan menghela nafas.
Kapanpun ia ingin berbuat baik di kediaman ini, rasanya percuma. Sebab, para petugas akan selalu membantahnya dan menyuruhnya untuk tetap diam sementara mereka akan melakukan segalanya bagi Haechan yang tentunya tidak akan pernah terbiasa dengan hal ini.
Karena itu, ia segera berjalan melalui para petugas yang tampaknya sedang sibuk dan membungkuk hormat sebelum menaiki para tangga hingga kedua tungkainya berpijak di lantai dua, tempat kamarnya berada.
Kakinya kini membawa tubuh mungil miliknya itu menjauh dari tangga, menghampiri sebuah kamar berpintu kusam yang akan segera ia tinggalkan dua hari lagi.
Ah, benar juga.
Sebentar lagi ia akan pulang. Kembali ke daerah ia berasal, Busan.
Tidak lagi menghirup udara yang sama seperti yang terdapat di ibu kota Seoul. Tidak lagi merasakan hiruk pikuk para pekerja di sepanjang jalan dan kembali mencium harum ikan segar sepanjang hari. Tidak lagi tinggal di rumah mewah ini dan kembali tertidur nyenyak di ranjangnya yang berwarna kuning. Tidak lagi bertemu sapa dengan Mark yang tetap akan tinggal di Seoul dan kembali bersekolah, membawa piala juara dua dengan bangganya.
Rasanya segala sesuatu tampak berjalan dengan sangat cepat.
Sebelumnya, ia merasa sama sekali tidak nyaman dengan hiruk pikuk para penduduk kota di Seoul. Apek dan tidak menyenangkan-seolah semua orang hanya memedulikan diri mereka masing-masing. Tetapi kini, ia menjadi terbiasa dan merasa jika Seoul adalah kota tempatnya dilahirkan-padahal faktanya jauh melenceng dari hal tersebut.
Haechan menghela nafas. Ia mengulurkan tangannya, hendak memutar kenop pintu kamarnya sebelum seseorang menggenggam lengannya dari sisi kiri.
"Sedang apa kau?"
Tidak salah lagi, itu Mark.
Ia mengenakan kaus berwarna gelap dengan celana training kelabu yang dipadukan dengan sandal kamar berkepala paus beluga yang Haechan pilihkan untuknya di akuarium.
YOU ARE READING
Too Kind • Markhyuck ✓
FanfictionHaechan was just too kind for a competitor like Mark. © Rayevanth, 2019