False

22 4 4
                                    

Hari itu Vana sedang menatap kosong rumahnya. Tidak adalagi suara Papa dan Mamanya yang selalu membuat Vana bahagia sekaligus iri melihat kemesraan keduanya.

"Permis, Non." Ucap pembantu rumah tangga di rumahnya.

Vana kaget dan tersadar dari lamunannya. "Kenapa, Bi?" Tanya Vana heran.

"Di depan ada Tuan Ardi." Balas Bi Ijah.

Vana mengerutkan dahinya bingung, dan segera menuju depan rumahnya. Terlihat disana Ardi bersama istri dan anaknya yang membawa koper  besar.

"Om." Sapa Vana.
Ardi yang merasa terpanggil membalikan badanya dan menatap sendu Vana.

"Vana," lirihnya.

"Masuk dulu Om, tidak baik berbicara di luar."

Ardi hanya memgangguk dan mengikuti Vana untuk masuk ke dalam, mereka duduk di ruang tamu.

"Sebelumnya, Om meminta maaf Vana, Om mengaku bersalah atas kejadian waktu itu. Tolong Om, Om tidak tahu harus bagaimana usaha Om bangkrut dan rumah Om disita oleh Bank. Lihat..! Kamu tega milahat Tante dan Sepupumu tinggal dipinggir jalan."  Ucap Ardi memegang tangan Vana.

Vana  menatap ke arah Kania dan Haura yang hanya diam menunduk. Vana menghela nafasnya pelan. "Baiklah, kalian boleh tinggal disini."

Mata Ardi pun berbinar termasuk Kania dan Haura, Ardi tak percaya bahwa rencananya berhasil. Tapi soal usahanya yang bangkrut itu benar adanya.

"Benar kamu mengizinkan Om tinggal disini?" Ucap Ardi berusaha meyakinkan Vana.

Vana mengangguk tersenyum. "Iya, Om. Biar Vana gak terlalu kesepian."

Ardi menepuk pelan tangan Vana yang ada digenggamnya. "Om janji gak akan mempermasalahkan harta itu lagi."

Vana kemabali teringat kejadian itu, ia mencoba tersenyum. "Iya, Om. Oh iya, Bi Ijah tolong panggil Mang ujung, tolong bawakan koper ini ke  kamar yang kosong ya Bi." Ucap Vana.

Bi ijah tersenyum, "beres, Non."

"Tante, Haura sama Om istirahat saja dulu. Vana mau keluar ada tugas sekolah." Ucap Vana.

Mereka hanya mengangguk dan mengikuti Mang Ujang yang membawakan kopernya.

"Ini kamar untuk Bapak dan Ibu." Ucap Mang Ujang membukakan pintunya.

"Kenapa gak di atas Mang?," tanya Ardi.

"Di ataskan cuma ada dua kamar, Mas. Kamar Non Vana dan kamar Tuan besar."

Ardi tersenyum kecut jadi Vana tidak membiarkannya tidur di atas kasur milik Handoko. "Yasudah, terimakasih Mang."

"Sama-sama, Pak. Ini di samping kamar Bapak adalah kamarnya Non Haura. Selamat beristirahat." Ucap Mang Ujang lalu pergi.

Haura berjalan ke kamarnya, ia membuka kamarnya dan merasa terkagum-kagum. "Mah, kamarnya  luas banget!." Teriak Haura.

Kania yang mendengar teriakkan anaknya langsung mengahampiri kamar Haura. "Haura!, kamu itu jangan teriak,"

Haura tertawa dan membanting tubuhnya di atas kasur. "Nyaman banget, beda sama kamar kita dulu."

Kania membenarkan ucapan Haura, jujur saja dikeluarga suaminya Ardi lah yang paling pas-pasan.

"Mulai sekarang aku gak bakalan malu ngajak temen-temenku kerumah."

Kania mengelus pucuk kepala Haura yang ada dipangkuannya. "Kehidupan kita akan berubah. Gak akan ada lagi orang yang menjelek-jelekan keluaga kita," Haura pun mengangguk dan memeluk Ibunya.

ScenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang