C E O

145 24 34
                                    

Cepet Angkat, Mas! is calling...

"Ada apa, Nda?"

"Luwak white coffee, passwordnya?"

Aris menghela lelah, "kenapa Nda?"

"Passwordnya?"

"Nda?"

"Passwordnya?"

Aris berdehem, "kopi nikmat nyaman di lambung."

Dinda terkikik geli diujung telfon.

"Kenapa, Nda?" tanya Aris lagi.

"Ih, kamu tuh! Tiap aku telfon pasti nanya 'kenapa, Nda?', 'ada apa, Nda?', aku sampe hafal. Nggak boleh ya aku telfon buat mastiin kamu masih bernafas atau enggak?" ucap Dinda berapi-api.

"Aku lagi kerja, sayang." Aris bersusah payah melembutkan suaranya.

Ia sedang rapat dengan team nya.

"Fine! Kamu kerja yang bener ya, Mas. Tapi di rumah kamu jangan sentuh laptop dan handphone kamu."

"Sayang, aku--"

Dinda memutuskan sambungan telfonnya.

Aris adalah CEO sebuah stasiun TV swasta. Sebagai Company Executive Officer, ia bertanggung jawab penuh dengan semua program acara di TV nya.

Rapat kali ini adalah untuk membahas program-program baru di awal tahun ini.

Sekaligus membahas ide dari tim kreatif untuk anniversary ke-tiga stasiun TV nya.

Aris membuka roomchat dengan istrinya.

Aku pulang agak malam, ya. Aku ada bawa kunci rumah, jadi nggak usah ditungguin pulangnya. Oke sayang?

Aris kemudian mengaktifkan mute mode pada handphonenya dan masuk lagi ke ruang rapat.

***

"Ndaaa."

"Dindaaaa."

Aris langsung mencari istrinya selangkah setelah ia masuk ke rumah besarnya.

Perhatiannya teralih ke kamar putrinya. Pintunya terbuka sedikit, jadi ia mengintip ke dalam.

Dua malaikatnya sedang tidur disana. Dengan wajah polos nan menggemaskan.

Putri kecilnya itu memeluk istrinya dengan erat.

Ini sudah jam setengah sebelas wajar jika mereka sudah tidur.

Aris melanjutkan langkah ke kamarnya dan membersihkan diri.

"Mas udah makan? Mau aku hangatin lagi lauknya?"

"Aku udah makan tadi."

"Makan apa? Junk food?"

"Bakso depan kantor, yang."

Dinda mengangguk samar kemudian bergelung di bawah selimutnya. Ia tidur menghadap sisi kosong di sampingnya.

"Mas, besok di sekolahnya Tia ada acara Hari Ayah. Kamu bisa datang nggak?"

Aris terdiam sejenak. Ia punya rapat besar dengan para pihak sponsor yang menyokong acara anniversary besok. Jam sembilan.

"Pagi ya?"

"Acaranya mulai jam sembilan."

"Aku ada rapat bes--"

"Yaudah kalau kamu nggak bisa, aku cari Ayah baru aja buat Tia." Dinda kembali memejamkan mata lalu memutar tubuhnya, membelakangi tempat Aris.

"Iya iya. Nanti aku bilang ke crew buat cancel rapatnya." Aris naik ke tempat tidur, menghadap punggung Dinda.

"Coba kamu turunin dikit sifat perfectionist kamu itu, Mas. Aku nggak tau berapa lama aku bisa tahan sama sifat kamu itu."

"Aku emang gini. Kamu nggak berhak ngubah sifatku." Aris berusaha sebisa mungkin untuk mengatur nada suaranya agar tidak terdengar marah.

"Aku nggak nyuruh kamu berubah. Turunin dikiiiiit aja, Mas. Kasian Tia."

"Kenapa jadi Tia?"

"Kamu secara nggak sadar udah nekan dia buat selalu yang terbaik di kelasnya," jelas Dinda.

"Dia memang pintar. Bukan aku yang terlalu menekan dia buat jadi yang terbaik," sanggah Aris.

"Terserah kamu. Aku capek." Dinda memutuskan untuk menghentikan perdebatan mereka. Ia tak ingin Tia terbangun karena Ayah dan Bundanya membuat keributan.

Malam ini. Setelah tumpukan pekerjaan di kantornya, Aris kini harus berpuas diri tidur dengan menghadap punggung istrinya.

 Setelah tumpukan pekerjaan di kantornya, Aris kini harus berpuas diri tidur dengan menghadap punggung istrinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
His ProfessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang