Saat membuka mata, Kemal mendapati kamarnya sudah dalam keadaan terang. Tirai jendela telah dibuka. Hal yang tak pernah terjadi sepanjang sepuluh tahun sejak sang ibu pergi. Sebelumnya, tak ada yang boleh masuk ke sana, kecuali penghuninya mengizinkan. Namun, sekarang dia berbagi ruang dengan seseorang, mau tak mau harus ada penyesuaian.
Beranjak dari ranjang, Kemal menuju kamar mandi untuk membasuh muka, lalu keluar kamar. Tak ada siapa pun, sepi seperti biasa. Seharusnya dia bisa menemukan keberadaan Medina di rumah itu. Namun, hingga langkahnya menuju teras, jejak sang istri tak juga ditemukan. Dia mulai berpikir yang tidak-tidak. Pasalnya ini bukan pertama kali dia ditinggalkan. Pergi tanpa pamit, itulah yang dilakukan ibunya dulu. Saat membuka mata di pagi hari, dia sudah tak menemukan perempuan yang melahirkannya itu. Entah kenapa pagi ini dia seperti mengalami de javu.
Piring pecah, teriakan, tangisan, pertengkaran terpanjang yang terjadi antara orang tuanya. Dan dia sama sekali tak pernah menyangka jika malam itu akan menjadi malam teramai terakhir dalam hidupnya. Setelahnya, pagi itu, begitu lengang. Entah ayahnya ke mana. Ibunya pun sudah tak ada. Lemari kosong melompong. Persis seperti sekarang, dia duduk di kursi yang sama dengan pikiran kosong. Mencoba mencerna semua yang terjadi.
Bedanya, pagi ini dia sedang mengingat, apakah tadi malam memperlakukan Medina dengan tak pantas. Namun, tidak. Dia yakin semua berjalan baik, bahkan subuh tadi Medina masih membangunkannya.
Mendengar suara pagar dibuka, Kemal mengarahkan pandangannya ke sana. Terlihat Medina masuk dengan kantong plastik hitam di tangan. Melenggang dengan santai.
"Dari mana? Kenapa pergi nggak pamit?"
Medina yang tadinya akan tersenyum untuk menyapa, urung karena mendengar nada bicara Kemal yang terkesan kesal. Dengan kening mengernyit, dia mengangkat bungkusan di tangannya.
"Beli sarapan. Kan, aku sudah pamit, bahkan kamu jawab iya. Atau mungkin kamu jawabnya setengah nggak sadar kali, makanya nggak ingat. Yuk, makan."
Tak menunggu Kemal menyahut, Medina mendahului masuk ke rumah, langsung menuju dapur. Mengambil alat makan untuk mereka berdua, lalu duduk di ruang makan.
"Mau aku buatin kopi atau teh?" tanya Medina sembari menghidangkan nasi bungkus di hadapan Kemal.
"Nanti aja. Kamu nggak tahu caranya bikin kopi."
Medina mengernyit sejenak, lalu menjawab dengan nada sedikit tak terima, "Dari umur tujuh tahun, aku sudah bisa bikin kopi."
Sungguh, Medina tak habis pikir. Bagaimana Kemal bisa dengan mudah menghakiminya. Dia sudah hidup susah sejak bayi. Kalau semua pekerjaan rumah bisa dia kerjakan, tentu membuat kopi adalah hal termudah yang bisa dilakukan.
"Kopiku beda," sahut Kemal. Saat itu, Medina sudah akan berargumen lagi, tapi urung ketika mendengar kelanjutan ucapan suaminya, "Nanti kuajari."
Medina mengangguk paham, lalu mulai makan.
"Jadi ... gimana soal kuliahmu?"
Hampir saja Medina tersedak sisa makanan di mulutnya. Dia berdeham pelan. Entah mengapa dia merasa begitu canggung. Tak bisakah Kemal memulai hari ini dengan perkenalan lebih jauh daripada membicarakan soal perkuliahan yang pasti berujung tentang uang? Batin Medina mengeluh.
"Hmm, tinggal skripsi aja. Kuusahakan selesai tepat waktu."
Kemal masih tetap menekuni isi bungkusan di depannya. Tanpa melihat Medina, dia bertanya, "Lalu berapa yang harus kubayar?"
"Sama aja dengan uang kuliah Alia. Kamu tahu, ‘kan?" Lidah Medina begitu kelu untuk menyebut jumlah tertentu. Tidak, dia bukan jenis perempuan seperti itu. Namun, mau tak mau dia tetap harus mengakui bahwa uanglah yang menjadi tujuannya ketika menikahi Kemal.
KAMU SEDANG MEMBACA
KEMED : Marriage in Mission
General FictionTELAH TERBIT (REPOST) "Abangku itu gila, yakin kamu mau nikah sama dia?" Medina tertawa. "Mungkin aku bisa jadi ahli jiwanya." *** Bukan atas dasar cinta, bukan juga karena perjodohan, Kemal dan Medina sepakat menikah. Mereka sama-sama punya misi ya...