Dengan malas, Medina mengikuti langkah Kemal dari belakang. Lelakinya itu berjalan menuju rak-rak barang yang akan dibeli sambil mendorong troli. Tadinya, dia tak ingin ikut belanja kebutuhan rumah karena kesal. Sudah akan berangkat, tapi malah disuruh berganti pakaian.
Menurut Kemal, baju yang dipakai Medina sudah tak layak karena warna aslinya mulai berubah. Bagi Medina, selagi tak koyak dan compang-camping, tak ada alasan untuk membuang pakaian hanya karena warnanya sedikit kusam.
Setelah melewati perdebatan cukup panjang, akhirnya Kemal yang menang. Dia langsung menyeret Medina kembali ke kamar, memilih sendiri baju untuk istrinya. Bahkan tak lupa memerintah agar baju-baju itu dibuang saja.
"Buang jiwa kere kamu itu. Irit boleh, pelit jangan."
Ucapan Kemal saat itu berhasil membuat Medina mendelik kesal.
"Sombong!"
Kemal menggeleng. "Belajarlah menikmati hidup. Aku nggak melarang kamu belanja, tapi jangan foya-foya. Aku juga susah cari uang." Kemudian menyerahkan baju yang sudah dipilihnya. "Cepetan atau aku yang gantiin."
Serta merta Medina mendorong lelaki yang baru lima hari hidup bersamanya itu keluar dari kamar.Meski ucapan Kemal tak sepenuhnya salah, tapi perempuan berkulit kuning langsat itu terlihat masih kesal. Wajahnya terus ditekuk sepanjang langkah membuntuti suaminya menuju rak bagian perlengkapan mandi. Raut kesal itu baru perlahan memudar ketika dia melihat Kemal terus memperhatikan ponsel saat memilih barang-barang apa saja yang harus dibeli. Rasa penasaran muncul di kepalanya. Kemudian dengan berjinjit dia mengintip layar ponsel lelaki itu.
"Kamu bikin catatan belanja sendiri?" tanyanya sedikit takjub karena lelaki semodel Kemal mengerti berbelanja keperluan rumah yang menurutnya cukup lengkap berdasar catatan yang berhasil dia intip isinya.
"Siapa lagi? Sejak Alia nikah, ya, aku yang belanja. Mana mungkin Ayah. Dia sudah sibuk ngurus istrinya."
Medina bisa menangkap nada sinis dari cara bicara Kemal ketika mengucapkan kata-kata terakhirnya. Membuatnya sedikit kikuk, bingung harus berbuat apa. Ingin menepuk-nepuk pelan bahu lelaki itu sembari berkata, "Sekarang kamu sudah punya istri, sudah ada yang ngurusin."
Namun, kata-kata itu hanya berhenti di kerongkongannya. Dia juga takut kalau ternyata reaksi Kemal tak sesuai harapan. Niatnya berempati, nanti malah sakit hati. Jadi, dia memutuskan menelan kembali kata-kata yang tersangkut di kerongkongannya itu.
"Beli detergen juga. Mulai sekarang biar aku yang nyuci, nggak perlu nge-laundry lagi."
Kemal hanya menanggapi dengan gumaman, lalu membiarkan Medina berjalan menyusuri rak khusus tempat pembersih pakaian. Sementara Medina segera mengambil dua bungkus detergen begitu dia menemukan merek yang biasa dia pakai.
"Jangan yang itu," larang Kemal saat Medina akan menaruh detergen pilihannya ke dalam troli.
"Kenapa? Ini murah, dapat hadiah piring lagi. Aku sering pakai."
Kemal mendengus. "Di rumah nggak kekurangan piring sampai-sampai harus mengharapkan hadiah dari detergen," ujarnya sembari mengembalikan detergen pilihan Medina ke tempat semula.
Medina sedikit manyun saat berkata, "Bukan begitu. Maksudku kalau manfaatnya sama aja, kenapa harus beli yang mahal? Toh, itu juga wangi. Aku biasa pakai."
Kemal menatap Medina sesaat. Sorot mata lelaki itu seperti sedang mengejek istrinya.
"Kamu memang lebih cocok jadi guru ketimbang pebisnis. Pas sekali kuliah jurusan kependidikan, bukan ekonomi.""Maksudnya?" Medina tampak tak mengerti.
"Coba kamu pikir kenapa sudah harga murah, tapi masih ngasi hadiah?" tanya Kemal sembari mengendus bungkus beberapa merek detergen untuk mengetahui wanginya.

KAMU SEDANG MEMBACA
KEMED : Marriage in Mission
Fiction généraleTELAH TERBIT (REPOST) "Abangku itu gila, yakin kamu mau nikah sama dia?" Medina tertawa. "Mungkin aku bisa jadi ahli jiwanya." *** Bukan atas dasar cinta, bukan juga karena perjodohan, Kemal dan Medina sepakat menikah. Mereka sama-sama punya misi ya...