Luka Lama 1

6.6K 542 16
                                    

Pagi ini, saat terbangun, Medina sudah tak menemukan Kemal di sebelahnya. Padahal biasanya selalu dia yang terjaga lebih dulu. Beranjak dari ranjang, Medina menuju kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum melakukan ibadah Subuh. Kemudian keluar kamar untuk mencari Kemal.

Rumah itu sepi, hanya detak jam di ruang tengah yang mendominasi pendengaran Medina. Sementara penerangan ruangan masih remang karena langit di luar memang belum terang.

Tak menemukan suaminya di mana pun, meski hingga berdiri di teras rumah, Medina memutuskan masuk kembali. Suasana pagi ini membuat bulu di sepanjang lengannya berdiri, akibat disergap hawa sejuk. Tak menunda lagi, dia menuju dapur untuk membuat sesuatu yang sekiranya dapat menghangatkan tubuh.

Teh panasnya masih mengepulkan uap, saat dia menyesapnya perlahan. Tak lantas dia menjauhkan wajah meski bibirnya tak lagi menempel pada bibir mug. Seolah menikmati kehangatan yang berasal dari dalam gelas. Kemudian, dia menghela napas cukup keras, disusul suara gemeletuk meja yang beradu dengan pantat mug.

"Dia benar, Din. Ingat tujuanmu menikah untuk apa. Uang! Biar cepat lulus kuliah, jadi sarjana." Medina menatap lurus mug bekas minumnya, seolah-olah dengan mug itulah dia bicara. "Jangan lupa juga tujuannya menikahimu karena apa. Rumah, mobil, tempat kerja. Ingat itu. Ingat!"

"Kamu sudah nggak waras?"

Ucapan itu mengejutkan Medina. Cepat dia menoleh ke sumber suara. Tampak Kemal berdiri di ambang pintu dapur. Wajah, rambut, dan sebagian kaus lelaki itu terlihat basah. Napasnya juga sedikit tersenggal.

"Dari mana?"

"Olahraga." Kemal mengibaskan kerah kausnya, mengusir gerah. "Buatkan kopi, aku mau mandi." Setelah mengucap instruksi itu, Kemal segera menuju kamar mandi. Bahkan anggukan kepala Medina tak sempat tertangkap matanya.

Tak butuh waktu lama bagi Kemal untuk membersihkan diri. Lima belas menit kemudian, dia sudah kembali ke dapur dengan wajah segar. Kaus motif setrip berwarna hitam dan biru melekat di tubuhnya, dipadankan dengan celana jeans biru gelap. Lelaki itu duduk di kursi makan paling ujung, di mana cangkir kopinya sudah tersedia. Dia mengangkat cangkir merah itu, didekatkan ke penciuman. Suatu kewajiban bagi Kemal menghirup uap kopi sebelum menyesapnya. Kemudian menyeruput sedikit cairan hitam dalam cangkir, seolah memastikan rasanya sudah pas. Baru menyeruput kembali, kali ini lebih banyak. Selalu begitu pola minumnya, seperti sebuah ritual.

Dia tidak sadar ada sepasang mata yang selalu memperhatikan, tiap kali dia memulai menikmati kopi. Seperti menjadi daya tarik tersendiri. Sejak menjadi istri Kemal, Medina seperti tak ingin melewatkan ritual pagi suaminya. Karenanya, sejenak perempuan itu meninggalkan nasi dalam penggorengan, hanya untuk berbalik menatap tingkah Kemal. Baru kemudian kembali fokus pada menu sarapan di wajan.

"Murahan!" gerutu Kemal, tepat saat Medina meletakkan piring berisi nasi goreng di hadapannya. Dia segera meletakkan ponsel yang layarnya masih menampilkan portal berita terkini.

Medina menarik sandaran kursi, menciptakan ruang baginya untuk duduk. Kemudian mendaratkan tubuh di atasnya. "Apanya?" tanyanya tampak tertarik.

"Artis terciduk kasus prostitusi. Jual tubuh cuma untuk uang delapan puluh juta. Murah!"

Medina yang sudah akan memasukkan suapan pertama ke mulutnya, mendadak berhenti. "Mahal itu. Aku aja cuma kamu hargai satu juta."

Sesaat Kemal hanya diam, menatap istrinya. Seolah sedang mencerna kata-kata yang baru saja didengar. Tak lama kemudian, dia terbahak. Tawa yang belum pernah Medina lihat sebelumnya. Begitu lepas.

Medina mendengus, lalu berujar saat tawa Kemal telah mereda, "Seperti itu selera humormu? Menertawakan orang itu lucu, 'kan?"

Kemal menggeleng, masih dengan sisa senyum terukir di bibirnya. "Maaf untuk ucapanku itu. Aku janji nggak akan bicara seperti itu lagi."

KEMED : Marriage in MissionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang