Tanda Tanya

6K 549 9
                                    

TANYA GOOGLE 9

Medina keluar kamar dengan langkah gontai. Sudah satu minggu ini dia tak selera makan, juga tidur tak lelap. Lambungnya mulai berontak, beberapa kali merasa mual dan sakit kepala. Sudah tujuh hari pula dia masih tinggal di rumah ibunya, tanpa komunikasi apa pun dengan Kemal.

Malam itu, setelah mengirim pesan yang terkesan menantang, Medina tak mendapatkan balasan dari Kemal. Lelaki itu seperti menghilang. Dia juga merasa enggan menghubungi lebih dulu. Saling adu gengsi.

Jangan bayangkan seperti kisah fiksi, atau drama romansa, yang saat kekasihnya merajuk, sang lelaki akan datang membujuk. Tidak. Bukan itu yang Medina dapatkan. Dia hanya menghabiskan malam dengan sumpah serapah tertahan di kerongkongan. Karenanya, dia menjadi lebih sensitif dan mudah uring-uringan, bahkan untuk perkara sepele sekalipun.

Untungnya, sang ibu seperti mengerti. Tak banyak bertanya secara mendetail kenapa dia tak juga dijemput pulang, padahal sudah berada di sana selama sepekan. Berbeda dengan kakak lelakinya yang berulang kali berujar sarkas. Secara tak langsung melempar umpan agar dia mau bercerita apa yang sebenarnya terjadi dengan rumah tangganya. Namun, Medina tetap bungkam, menyimpan rapat. Bahkan dia tak benar-benar yakin alasan kemarahan Kemal. Dia yang meminta ijin menginapkah, atau isi pesan terakhirnya?

Baru saja Medina mendaratkan tubuh di sofa ruang tamu, mencomot satu ubi rebus yang tersaji di meja, saat Pramono datang. Ekspresi wajahnya seketika berubah tak senang, terlihat malas berbasa basi dengan sang kakak.

"Mas mau ke Banyuwangi, Din." Pramono duduk di hadapan Medina, turut mencomot ubi seperti adiknya. Menggigit hampir separuh bagian penganan itu, lalu kembali bicara sembari mengunyah. "Ayo, ikut. Sekalian kamu pulang. Mas ingin tahu rumah barumu."

"Ngusir, nih?" timpal Medina ketus.

Lelaki yang usianya lebih tua lima belas tahun dari Medina itu menelan makanan di mulutnya sebelum menjawab, "Kamu ndak tahu diri. Masa sudah punya suami, tapi ndak pulang-pulang. Jangan ngelunjak, Din!"

Medina diam. Ekspresi wajahnya terlihat seperti baru saja ditampar. Apa betul dia sudah keterlaluan? Meminta ijin menginap, apa itu berlebihan? Hingga Kemal menuduhnya 'ngelunjak'. Sekarang kakak lelakinya pun mengatakan hal yang sama.

"Aku mau pulang kalau dijemput Kemal!"

Setelah beberapa saat terdiam, Medina buka suara juga. Ucapannya penuh penekanan, seolah ingin menunjukkan kalau dia tak peduli dengan apa yang dikatakan oleh sang kakak. Tentu hanya dia sendiri yang tahu, sikapnya seperti ini karena Kemal dulu yang memulai.

Tak dihargai oleh Kemal, dia bisa menerima. Namun, saat Kemal tak mengganggap keberadaan orang tuanya, dia tak bisa tinggal diam begitu saja. Penolakan lelaki itu untuk mampir sebentar, juga sorot kecewa dari mata ibunya saat menanyakan keberadaan sang menantu, rupanya begitu menggores hati perempuan itu.

"Betul kata masmu, pulanglah. Mungkin suamimu masih belum sempat ke sini." Jumiwa yang baru muncul dari dapur, ikut menimpali. Jarak ruang tamu ke dapur yang tak jauh, memungkinkan pembicaraan di depan terdengar hingga ke belakang.

Medina menghela napas panjang. Dia memilih tak lagi menjawab karena percuma saja terus mendebat. Jika dia tak memberitahu yang sebenarnya, tetap saja dialah yang terlihat salah. Namun, tekadnya sudah bulat, tak akan kembali bila bukan Kemal yang datang.

"Berangkat jam sepuluh, ya, Din. Siap-siap."

"Nggak, Mas! Aku ...." Perkataan Medina tak selesai, karena fokus Pramono teralih pada ucapan salam dari luar.

Sementara Pramono dan Jumiwa melihat siapa yang datang, Medina tetap bergeming di tempatnya. Tampak seulas senyum terukir di bibir perempuan itu. Dia tahu betul suara siapa itu.

KEMED : Marriage in MissionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang