Medina mengembuskan napas saat pandangannya terarah pada layar monitor di pojok ruangan. Deretan angka tertera di sana. Masih ada lima nomor lagi hingga antriannya tiba. Beruntung suhu ruangan adem. Setidaknya menunggu hampir satu jam tanpa gerah bisa sedikit mengurangi rasa bosan. Apalagi dengan ponsel di tangan. Berselancar di dunia maya selalu sukses membunuh waktu. Selanjutnya, perempuan itu kembali menggerakkan ibu jari di permukaan layar. Menyentuh simbol aplikasi berkirim pesan. Mencari satu nama yang hampir saja dia lupa untuk dihubungi.
'Mas, sebentar lagi aku transfer uang. Bayar hutang.'
Tak perlu menunggu lama, pesan balasan datang. Medina tak heran. Kakak lelakinya memang tak pernah merespon lama jika tentang uang.
'Wuih, langsung lancar kucuran dana, ya? Transfer lebih, kamu ngutang sudah setahun.'
Medina mendengus pelan.
'Oh, iya, aku lupa lagi ngutang sama rentenir.'
Setelahnya, dia menutup aplikasi itu tanpa memedulikan balasan dari Pramono. Lelaki itu sepertinya memang terlahir dengan bakat membuat orang kesal, sedangkan Medina ditakdirkan terlahir untuk menghadapi para lelaki menyebalkan. Dua puluh dua tahun dia ditindas oleh Pramono, sekarang dia harus menghadapi satu lagi lelaki semodel itu dalam wujud Kemal. Mustinya, dia sudah kebal.
Ponsel Medina bergetar lagi. Dia hanya melirik sekilas, karena menebak pasti Pramono yang mengirim balasan. Mungkin lelaki itu sedang misuh-misuh. Namun, ternyata Kemal yang mengirim pesan.
'Berapa kilo gula yang kamu masukkan ke kopiku? Manis banget! Mau aku kena diabetes?'
Medina memutar bola mata setelah membaca pesan itu, lalu segera membalasnya.
'Siapa tahu bisa bikin kamu sedikit lebih manis kalau ngomong.'
Medina memang sengaja memasukkan beberapa sendok gula lebih banyak ke dalam seduhan kopi Kemal yang akan dibawa kerja. Bukan tanpa alasan, dia begitu kesal karena kata-kata lelaki itu.
"Kenapa lima juta? Bukannya uang semester kamu cuma empat juta? Sejuta lagi buat apa? Fee servis tadi malam?" Begitu ujar Kemal saat Medina menyebut jumlah uang yang diminta untuk membayar daftar ulang.
Medina meradang, tapi memilih diam. Begitu meraup segebok uang dalam pecahan seratus ribuan, perempuan itu beranjak ke dapur menyiapkan sarapan berikut setermos kopi yang biasanya akan Kemal bawa kerja. Dia sadar betul tak punya kuasa untuk adu kekuatan bahkan untuk sekadar adu mulut pun mungkin dia juga akan kalah. Makanya, dia memilih membalas lewat jalan belakang.
Seulas senyum tipis tersungging di bibir Medina. Ada gurat kepuasan yang terlukis di wajah itu saat dua garis centang telah berwarna biru. Namun, balasan dari Kemal tak kunjung datang. Membuat Medina merasa sedikit menang dalam pertarungan kali ini. Dia tak akan diam begitu saja jika Kemal ingin menindasnya. Setidaknya itu yang sedang dia coba buktikan sekarang. Berusaha bertahan mengatasi sikap menyebalkan Kemal seperti dia sanggup menghadapi kakak lelakinya. Meski tak menampik dia tetap makan hati juga.Suara operator dari layar lebar di dinding menyadarkan Medina jika antriannya telah tiba. Bergegas dia bangun, menyelesaikan semua transaksi pembayaran. Tak butuh waktu lama hingga akhirnya dia kembali membelah jalanan dengan motor yang dulu sering dipinjamnya dari Alia. Sekarang kendaraan roda dua itu bebas dia pakai.
Dulu, dia harus berdesakan dalam angkutan umum yang sumpek dan penuh penumpang. Sekarang tak perlu lagi. Fasilitas telah dia dapatkan, uang sudah dia pegang. Sebentar lagi dia bisa memulai skripsi. Senang? Tentu saja dia akan menjawab iya. Namun, tetap saja di sudut hatinya yang paling dalam ada titik kosong yang tak bisa dia sangkal keberadaannya.
Medina ingat dulu Alia pernah berkata kalau dia tak akan bisa merasa bahagia saat menjalani sebuah hubungan tanpa melibatkan perasaan. Saat itu, Medina memberi jawaban yang berhasil membuat Alia terbungkam diam.
![](https://img.wattpad.com/cover/182286474-288-k755563.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
KEMED : Marriage in Mission
Fiksi UmumTELAH TERBIT (REPOST) "Abangku itu gila, yakin kamu mau nikah sama dia?" Medina tertawa. "Mungkin aku bisa jadi ahli jiwanya." *** Bukan atas dasar cinta, bukan juga karena perjodohan, Kemal dan Medina sepakat menikah. Mereka sama-sama punya misi ya...